Rabu, 26 Desember 2012

1. Pendahuluan: Peringkat Propinsi dalam Membangun Ekonomi Koperasi Analisis Berdasarkan Indeks Peer

Review 1 Abstrak dan Pendahuluan
Peringkat Propinsi Dalam Membangun Ekonomi
Koperasi Analisis Berdasarkan Indeks Peer

Oleh   :
Johny W.Situmorang

Abstraksi
Cooperative Economic development is an integral part of national economic development. The higher capacity of the region in national economy, it should be reflected on the higher regional cooperative economy. In the era of regional outonomy, cooperative developmet constitutes one of the main authorities of the head of the regions. In compliance with the environmental and climate changes, every province will spur to developing cooperative economy to materalizing people’s economy. One of the encouragements to enhance inter regional competition is by identifying the position of the province nationally. By using regional cooperative economic performance/PEKR index, then the provincial rank in could be identified. The result of the analysis shows a good performance of one province is not always indicated by the high regional economy capacity in the national economy. In, 2006 the highest rank was achieved by the Province of Gorontalo, although this province having low regional economic capacity, but it was able to create very high cooperative economy.

I. PENDAHULUAN

Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena engine of growth yang penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk menjamin bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung nasional maupun asing (FDI). 

Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya di perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan. Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survey nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Artinya, Indonesia belum menjadi negara tujuan investasi. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di regional (daerah) tertentu saja, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Aliran investasi dalam rangka PMDN dan PMA separuhnya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional lainnya. Pola ini jelas dapat semakin memperbesar kesenjangan antar regional dimana regional selain Pulau Jawa dan Bali pembangunan ekonominya semakin jauh tertinggal. Kesenjangan antar regional ini sekaligus juga mempersulit upaya penanggulangan pengangguran dan kemiskinan. Bila kesenjangan ini masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya strategi Pemerintah secara nasional menarik investasi dalam rangka pemulihan ekonomi dari krisis dan revitalisasi perekonomian. Sejalan dengan otonomi daerah, kesenjangan pembangunan antar daerah yang tinggi menunjukkan tujuan otonomi daerah tidak tercapai dalam rangka menyejahterakan rakyat. Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten, kota, dan propinsi, harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat. Mobilisasi sumberdaya lokal, praktis di bawah kendali pemerintahan lokal dan propinsi.

Dengan demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota memberikan harapan kesungguhan setiap daerah membangun ekonomi dengan prinsip kompetisi. Program-program pembangunan menjadi implementasi strategi setiap pemimpin daerah dalam mewujudkan visi dan misi ketika kampanye pemilihan kepala daerah tersebut. Secara praktis dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan seluasluasnya kepada daerah untuk membangun sesuai dengan kapasitas daerah itu di tengah perubahan lingkungan strategis yang cepat. Pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi telah dikenal luas selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Secara ideal, koperasi tidak hanya sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap mampu mengejawantahkan peran konstitusi (pasal 33 UUD 1945) dalam konteks ekonomi kerakyatan. Secara faktual, koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi sebagaimana bentuk badan usaha lain, seperti perseroan terbatas (PT). 

Dalam era otonomi daerah jelaslah bahwa pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala daerah juga harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya. Apakah perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan kemampuan propinsi mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah daerah lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis ini juga dapat membuktikan apakah strategi pemerintah daerah dan pusat, khususnya lembaga pemerintah yang bertanggung jawab pengembangan koperasi, mampu menjawab permasalahan dasar perekonomian sesuai grand strategies pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya dalam rangka otonomi daerah. Dengan kata lain, apakah pola pembangunan koperasi menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional atau berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus menerus.

YUNITA HILDA (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar