Kamis, 27 Desember 2012

Metode Analisis & Penutup : Peringkat Propinsi Dalam Membangun Ekonomi Koperasi Analisis Berdasarkan Indeks Peer

Review 2 Metode Analisis dan Penutup
Peringkat Propinsi Dalam Membangun Ekonomi
Koperasi Analisi Berdasarkan Indeks Peer

II. Metode Analisis 
   Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih sering dikumandangkan berdasarkan analisis historikal yang normatif. Tulisan ini mencoba menampilkan analisis yang lebih positif dengan menggunakan fakta empirik menyangkut posisi ekonomi koperasi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi itu berada. Pendekatan relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk mengetahui performa propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks, berdasarkan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) dari sisi regional atau propinsi atau kawasan Indonesia (selanjutnya disebut regional) atau Regional Cooperative Economic Performance Index (RCEPI). IPEKR atau indeks RCEP  menjelaskan bagaimana performa relatif ekonomi koperasi secara regional (cooperative economic size by region) atau ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional secara nasional (economic size relative by region). Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan antara rasio nilai ekonomi atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang dinyatakan sebagai ukuran ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut dengan nasional. Pendekatan analisis berdasarkan IPEKR atau indeks RCEP tersebut dirumuskan dalam beberapa persamaan berikut ini. Ukuran ekonomi koperasi regional/propinsi (UEKR) atau disebut juga sebagai regional cooperative economic size (RCES) adalah
sebagai berikut:
VUKN
VUKR
UEKR = ............................................................................... (1)
Dimana VUKR = volume usaha koperasi regional/propinsi (Rp triliun) dan VUKN = volume usaha koperasi nasional (Rp triliun). Volume usaha koperasi dipakai sebagai indikator ekonomi, karena secara empirik volume usaha mencerminkan kemampuan koperasi dalam bisnis dan ekonomi. UEKR selalu di antara nol dan satu (0<UEKR<1). Semakin tinggi UEKR semakin besar ukuran regional dalam pengembangan ekonomi koperasi relatif terhadap nasional. Ukuran ekonomi regional/propinsi (UER) atau disebut juga sebagai regional economic size (RES) dirumuskan sebagai berikut:
PDB
PDRB
UER = ............................................................................... (1)
Dimana PDRB = produk domestik regional bruto dari propinsi dan PDB = produk domestik bruto Indonesia. PDRB merupakan indikator ekonomi utama regional dan PDB sebagai indikator utama perekonomian nasional. Nilai UER adalah di antara nol dan satu (0<UER<1). Semakin tinggi UER maka semakin besar pula kemampuan atau kapasitas ekonomi propinsi relatif terhadap nasional. IPEKR atau RCEPI dapat dirumuskan sebagai rasio antara UEKR dengan UER, yakni:
UER
UEKR
IPEKR = …………………………………………………… (3)
Dimana UEKR = ukuran ekonomi koperasi regional dan UER = ukuran ekonomi regional. IPEKR berada antara nol dan tak terhingga (IPEKR0). Bila IPEK<1 maka performa atau rating regional rendah, dengan kata lain pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan ekonomi regionalnya. Bila IPEK>1 maka performa atau rating regional tinggi, atau dengan kata lain pengembangan ekonomi koperasi di atas kemampuan ekonomi regionalnya. Berdasarkan IPEKR, pemeringkatan daerah dapat dilakukan. Oleh karena itu, peringkat daerah dalam ekonomi koperasi tergantung pada besaran IPEKR tersebut. Metode ini cukup baik untuk menjelaskan rating dan peringkat regional/propinsi dalam pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan telah digunakan oleh para analis atau peneliti ekonomi untuk melihat posisi berbagai aspek, antara lain komoditas dalam ekspor, negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya. Demikian juga penulis sendiri telah menggunakannya dalam memeringkat sektor perekonomian dan regional dalam menarik investasi PMDN dan PMA. Pada tahun 2007, Kementerian Negara KUKM melalui Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya untuk memeringkat propinsi dalam pembangunan KUKM1. Dalam pembangunan wilayah, metode ini biasanya digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan lokasi perencanaan wilayah. Analisis ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masingmasing lembaga. Data PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006. Seyogianya, performa tahun 2007 lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB. Sehingga penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek. Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).

III. Hasil Analisis
3.1. Rating dan Peringkat Propinsi
       Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Tabel 1 menampilkan hasil perhitungan IPEK sesuai dengan persamaan (3). Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya. Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.

Pada Tabel 1 tersebut terlihat pula, yang mampu mencapai IPEK>1 hanya 12 propinsi atau 36.4% dari seluruh propinsi, selebihnya 64.6% di bawah nilai satu (IPEK<1). Dengan kata lain hanya sebagian kecil dari propinsi yang mampu menunjukkan performa baik dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini sebenarnya memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala daerah selalu menempatkan koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting. Data tersebut di atas juga mengindikasikan bahwa antara ucapan dan tertulis yang menyatakan komit terhadap pembangunan koperasi sangat jauh dari kenyataan. Berarti, rencana strategis kepala daerah yang memuat pembangunan koperasi sebagai salah satu target utama, cenderung hanya retorika politik agar memperoleh simpati rakyat ketika kampanye pemilihan kepala daerah. Hasil dari analisis ini memperlihatkan suatu hal yang tidak disangka sebelumnya secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan terrendah Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai oleh 12 propinsi, yakni Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI Yogyakarta (1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan (1.2468), Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan Sulawesi Tenggara (10239). Dengan rating tersebut, maka secara berurutan peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai dengan rating di atas. Hal yang mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini diketahui selalu menunjukkan jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak selamanya mampu menduduki posisi tertinggi dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal ini terlihat misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Riau. Bahkan posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21
     Performa pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga menunjukkan pola yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan (KBI dan KTI) sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating tertinggi mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh pulau yang mencapai rating IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1). Peringkat berdasarkan pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating di atas satu adalah secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa (3), Sulawesi (4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5), Kalimantan (6), dan Papua (7). Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada peringkat-3 dan peringkat-5 memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan aksesibilitas Pulau Jawa dan Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya tertinggi. Kalau dilihat lebih lanjut, perbedaan performa kawasan antara KBI dan KTI
juga terlihat. Rating KBI di atas nilai satu dan KTI di bawah nilai satu. Namun perbedaan ratingnya tidak terlalu jauh. KBI masih menjadi unggulan dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi geopolitik dan geografi KBI yang jauh lebih baik daripada KTI. Pencapaian ekonomi koperasi di KBI hanya 16.5% di atas kemampuan ekonomi regionalnya. Sementara di KTI ada kelebihan kapasitas sebesar 41.39% dalam upaya mengembangkan ekonomi koperasi.

3.2. Ekonomi Regional
       Sejauh mana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9- 15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan
terbesar secara nasional.
            Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun. Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1 terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan. DKI Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional. Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1, semestinya propinsi yang memiliki kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa ekonomi koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta 0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi  tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya. Sebaliknya, kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya maka performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi tidak mampu menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan koperasi sebagai wujud ekonomi rakyat.

       Dari tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang juga terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera mendominasi perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas nasional merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Pada Grafik 2 terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai lebih dari separuh nasional, yakni 55.6%, menyusul wilayah Pulau Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan  Maluku. Hal ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI juga sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya, kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di KBI jauh lebih tinggi daripada lainnya.

Dari gambaran mengenai kapasitas di atas, memunculkan pertanyaan menyangkut kemampuan mengembangkan ekonomi atau bisnis koperasi secara regional. Apakah harapan semestinya performa ekonomi koperasi yang jauh lebih baik di propinsi yang tinggi kapasitas ekonomi regionalnya, propinsi di pulau-pulau yang tinggi kapasitas ekonominya, dan propinsi di KBI yang tinggi kapasitas ekonominya terjadi dengan sendirinya? Hal itu akan terlihat ketika ukuran ekonomi koperasi regional-nya dapat ditampilkan, sebagaimana uraian pada bab berikut.

3.3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
       Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi koperasi terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam ekonomi koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi koperasi menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah sebesar 0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau 18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Tinjauan dari sisi pulau, pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa mendominasi perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar. Pada Grafik 4 terlihat ukuran ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530. Nilai UEKR rata-rata adalah 0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh UEKR di atas 0.1429 termasuk kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi, sedangkan Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR sebesar 0.1326. Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR mencapai 0.8959 atau mendominasi sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya dibagi oleh Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan kawasan, KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR mencapai 0.9075, artinya sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional merupakan sumbangan koperasi di KBI. Performa ekonomi koperasi tersebut di atas mencerminkan ketimpangan antar propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik. Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya, pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya
4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya Pulau Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku.Hal ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI juga sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.

IV. Penutup
      Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang performanya rendah.
       Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih
banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi pula. Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi. Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.

Sumber : www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_5.../JURNAL_CETAK.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012









Tidak ada komentar:

Posting Komentar