Jumat, 28 Desember 2012

Koperasi dan Korporasi Petani: Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis Berdaya saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan

Review 1 Pendahuluan
Koperasi dan Korporasi Petani: 
Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis 
Berdaya saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan

Rudi Wibowo

PENDAHULUAN
     Dalam era transisi demokratisasi saat ini, secara nasional tampak ada keinginan sangat kuat untuk mengangkat derajad kesejahteraan petani yang selama ini merupakan bagian terbesar masyarakat yang “tertinggal” dalam pembangunan. Tekad tersebut paling tidak terlihat dari jargon-jargon umum para calon pemimpin negara masa depan dalam kampanye pemilihan presiden di bulan Juni 2004 ini. Jika benar bahwa jargon-jargon tersebut akan menjadi landasan kebijakan pemerintahan masa depan ini, maka hal itu berarti akan menempatkan pembangunan nasional dalam mainstream pembangunan pertanian, dengan petani sebagai subyek utamanya. Hal ini mengingat besarnya potensi sumberdaya (resource endowment) dan besarnya masyarakat Indonesia yang bergantung pada bidang pertanian dalam arti luas. Ke depan, pertanian berwawasan agribisnis mestinya diletakkan pada posisi sentral di dalam pembangunan ekonomi, pertanian dan perdesaan.
Menggarisbawahi hal itu, para ekonom pertanianpun pada akhir bulan Mei 2004 yang lalu telah mengingatkan para calon pemimpin nasional dalam konklusi konperensi nasionalnya dengan bagian rumusan terpentingnya sebagai berikut.

Rekonstruksi dan restrukturisasi pertanian Indonesia akan sangat tergantung
pada bagaimana pemimpin bangsa mendudukkan pertanian dalam kerangka
pembangunan nasional. Harus ada pandangan normatif pemimpin bangsa
yang berani mengambil posisi yang jelas dengan sikap: “ ……apabila
terdapat berbagai kepentingan pembangunan, dan kepentingan yang lain
bertentangan dengan keperluan pembangunan pertanian, maka kepentingan
yang lain itu harus ditunda………”.2

Peringatan dari para ekonom pertanian tersebut menjadi amat sangat penting bagi keseluruhan bangsa ini,--terutama bagi para pemimpin pengelola negara mendatang-- untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Mengapa demikian? Indonesia sebagaimana negara-negara agraris berkembang lain, bagian terbesar potensinya adalah sumberdaya pertanian dengan bahagian terbesar penduduknya para petani, akan tetapi sejauh ini justru belum menunjukkan peningkatan kehidupan dan kesejahteraan mereka. Banyak bukti menunjukkan kecenderungan itu. Secara makro misalnya, ketidak-serasian karena tajamnya penurunan Gross Domestic Product pertanian (dari sekitar 80% GDP nasional di tahun 1950-an menjadi hanya 17% di awal milenium ini) dibanding lambatnya penurunan share ketenagakerjaannya (dari sekitar 90% di tahun 1950-an menjadi 46% di awal milenium ini) menunjukkan betapa rendahnya produktivitas kerja di bidang pertanian ini, dibanding sektor industri yang meningkat pesat produktivitasnya. Globalisasi tampaknya juga tidak berpihak pada pertanian, dengan terjadinya kecenderungan konsisten penurunan harga-harga riil produk primer pertanian3. Konsistensi penurunan harga-harga produk primer pertanian tersebut secara agregat tentu akan menyulitkan posisi petani dan pertanian masa depan.

     Petani, sebagai the real investors seringkali tidak menjadi perhatian dan bahkan diabaikan oleh pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan tampaknya masih friendly dengan para pengusaha besar dan sektor di luar pertanian. Misalnya, tahun 2003 lalu Bank Indonesia mencatat bahwa jumlah kredit investasi sektor pertanian Rp 10,3 triliun dari total Rp 54,6 trilyun atau sekitar 18,8 persen, sedangkan kredit modal kerja sektor pertanian hanya Rp 10,3 triliun dari total Rp 157,6 triliun atau sekitar 6,53 persen. Sektor pertanian tidak hanya memerlukan tingkat suku bunga yang tepat, tetapi juga akses dan kemudahan lain yang dapat dimengerti oleh pelaku sektor pertanian4. Dalam pada itu, secara mikro-wilayah banyak implementasi pembangunan pertanian yang masih menjadi keprihatinan, misalnya semakin terbatasnya penguasaan dan skala usaha akibat konversi terus-menerus lahan produktif pertanian ke bukan-pertanian, teknologi yang relatif stagnan dan “miskin” terobosan baru, serta kecenderungan keterpisahan (decoupling) pertanian antar-skala dan antar-wilayah, baik horisontal maupun vertikal.

        Mencermati keadaan di atas, tulisan sederhana ini ingin mengajukan pemikiran atau konsepsi dasar bagi pembangunan pertanian masa depan, terutama dikaitkan dengan upaya kelembagaan (institutional building). Upaya kelembagaan tersebut menjadi sangat penting, terutama dalam rangka mengakselerasi modal sosial bagi kebutuhan pembangunan ekonomi pertanian yang berdaya saing, lebih demokratis, berkerakyatan, sehingga diharapkan lebih mensejahterakan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Mudah-mudahan, pengelola negara masa depan pasca pemilu 2004 ini mengkontemplasikannya menjadi landasan kebijakan pembangunan ekonomi nasional mendatang, dan merealisasikannya di lapangan.
                               
AGRIBISNIS SEBAGAI A NEW PARADIGM
     Mendalami potret pembangunan pertanian berwawasan agribisnis saat ini, secara nasional masih sungguh-sungguh memprihatinkan. Agribisnis yang sejak tahun 80-an secara nasional telah diposisikan sebagai a new way to look agriculture, a new agriculture paradigm, ternyata pada tingkatan konsepsional saja masih banyak menyimpan berbagai kesalah-pengertian dan pemahaman bagi sementara pihak, sehingga implementasinyapun menjadi jauh dari hakikat tujuan pengembangan agribisnis itu sendiri. Sebagai buzz-word, agribisnis memang telah sangat populer. Terminologinya telah ‘membudaya’ sejak pucuk pimpinan negara, berbagai pertemuan ilmiah dan seminar, dokumen-dokumen pemerintahan hingga ke tingkat penyuluh dan bahkan masyarakat umum. Akan tetapi, implementasi konsepsi agribisnis tersebut ternyata tidak sejalan dengan popularitas istilahnya. 

         Sebagai suatu paradigma berfikir baru, agribisnis pada dasarnya menekankan pada cara pandang yang melepaskan diri dari sebuah “tradisi” konvensional yang selama ini dianut, ketika membicarakan pertanian. Pertanian tidak hanya dipandang sebagai suatu sistem kegiatan on-farm semata-mata, akan tetapi mencakup berbagai subsistem dalam keseluruhan sistem, yang disebut agribisnis5. Bagi Indonesia khususnya, agribisnis bukanlah sekedar bertujuan untuk membuat kegiatan pertanian menjadi berdaya saing saja (sehingga mampu berkompetisi dalam arena global), akan tetapi lebih penting dari itu harus mampu membuat petani lebih produktif dan sejahtera. Namun demikian, pada tataran konsepsional saja, saat ini kita masih banyak menghadapi atau menjumpai kesalah-pengertian tentang apa yang dimaksud dengan agribisnis tersebut. Beberapa kesalah-pengertian tersebut antara lain:
  • Agribisnis diartikan sebagai suatu kegiatan pertanian komersial, atau petani yang berbisnis atau sekedar berorientasi pasar. Pengertian tersebut menghilangkan makna “sistem” dan keterkaitan antar subsistem, yang menjadi “sukma” bagi wawasan agribisnis itu sendiri
  • Agribisnis hanya diartikan sebagai perusahaan-perusahaan besar di bidang pertanian, sehingga memperkecil pengertian dan lingkup kesistemannya
  • Agribisnis hanya dipandang sebagai suatu “program” bagi kementerian pertanian, sehingga menghilangkan esensinya sebagai a new paradigm.
  • Agribisnis diartikan sebagai sektor yang berkonotasi sempit, dan lainnya6.

Kesalah-pengertian makna tersebut tampaknya telah menjadi salah satu sebab “bias”nya sementara pihak dalam mendalami dan mencermati secara benar problema pertanian. Masalah pertama, utama dan mendasar yang dihadapi bangsa dalam pertanian adalah semakin buram dan memprihatinkannya potret kehidupan para petani. Struktur petani dan pelaku pertanian secara nasional sangat beragam, demikian pula dengan bidang kegiatannya. Bagian terbesar petani di Indonesia pada dasarnya dapat dikategorikan dalam karakteristik petani “gurem”baik buruh tani maupun yang subsisten tradisional (peasant) dan masih semi komersial (pseudo-farmer), selain sebagian kecil lain merupakan petani berkarakteristik komersial dan perusahaan pertanian atau perusahaan agribisnis baik dalam level nasional maupun multi-national corporation.

         Sekitar sepuluh tahun lalu, Badan Pusat Statistik mencatat ada sekitar 34.65 juta usaha mikro (98.1 persen dari total), usaha kecil (1.3 persen) menengah dan besar (0.6 persen), dengan total tenaga kerja mencapai 67 juta orang. Pada tahun 2001, sebesar 57 persen aset dikuasai usaha besar, dan hanya 21 persen saja yang dikuasai usaha kecil, yang justru mampu menyediakan lapangan kerja sekitar 89 persen, dan menyumbang sekitar 41 persen GDP. Bila dilihat dari bidang pembangunannya, usaha mikro dan kecil di bidang pertanian mempunyai kontribusi terbesar, yaitu 57 persen, industri 7 persen, serta perdagangan dan jasa sebesar 36 persen7. Saat ini, secara garis besar struktur tersebut tidak banyak berubah. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa pola agribisnis kita masih sangat didominasi dan ditopang dari usaha pertanian rakyat yang berskala kecil (“gurem”), dengan tenaga kerja yang relatif “kurang trampil” dan tersebar di berbagai wilayah tanpa ikatan skala. Sebagaimana telah diungkapkan, kegiatan usaha tersebut seringkali masih belum sepenuhnya berorientasi pasar-komersial dan bahkan sebagian masih cenderung subsistentradisional, tentu dengan keragaman penggunaan teknologi yang sangat tinggi.

     Dualistic problem dalam kegiatan pertanian sebagaimana dipreposisikan Boeke tetap menjadi masalah penting bagi pembangunan pertanian. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang sangat kritis untuk meluruskan atau menjernihkan kesalah-pengertian tersebut, jika tidak ingin dijumpai potret masa depan petani dan pertanian yang semakin memprihatinkan pada bangsa ini ke depan. Bagian terbesar pelaku pertanian membutuhkan hakekat kebijakan yang sangat berbeda dibandingkan dengan sebagian kecil lainnya, yang justru “menguasai” berbagai sumberdaya produktif yang dibutuhkan bagi suatu pembangunan pertanian yang berdaya saing seperti lahan, modal, teknologi dan informasi serta manajemen. Tanpa menyentuh aspek utama tersebut, pembangunan pertanian kita diyakini tidak akan mampu mengatasi masalah dasar dan struktural dalam pertanian. Misi inilah sebenarnya yang menjadi landasan dari agribisnis sebagai suatu paradigma baru dalam pembangunan pertanian kita.

     Jika disepakati bahwa agribisnis adalah cara pandang baru (a new paradigm) bagi bangsa ini dalam membangun dan mengembangkan pertanian sesuai dengan hakekat tujuan dasarnya (baca: meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani) dengan memperhatikan potret petani dan pertanian di Indonesia yang sangat dualistik saat ini, maka hal pertama dan utama yang secara teoritis dibutuhkan adalah upaya kelembagaan (institutional building) yang akan memampukan dan memberikan landasan kondusif (enabling) bagi berkembangnya kehidupan petani dan pertanian masa depan. Upaya  kelembagaan tersebut harus dipandang sebagai suatu prasyarat keharusan (necessary condition) bagi suatu rekonstruksi dan restrukturisasi ekonomi (pertanian) secara menyeluruh. Berkembangnya prasyarat keharusan tersebut pada dasarnya merupakan tugas utama pemerintah dalam mewujudkan keberpihakannya melindungi” dan “memberdayakan” petani dan pertanian. Tanpa prasyarat keharusan tersebut, diyakini

Agribisnis hanyalah sosokdendang yang populer, akan tetapi disenandungkan di atas rintihan ketidak-berdayaan para petani”. 

Segala bentuk upaya manajemen untuk  membangun kehidupan petani dan pertanian yang dilaksanakan tanpa menyentuh atau mengkonstruksi ulang kelembagaan pertanian yang ada, diyakini tidak substansial sehingga tidak akan mampu mengatasi hakekat problema yang sedang dihadapi pertanian dan bangsa ini. Sayangnya, upaya-upaya kelembagaan yang dilakukan selama ini kurang tercermin sebagai penggerak utama dalam proses pembangunan pertanian, sehingga posisi ekonomi petani tetap menempati stratum terbawah dalam konstelasi struktur ekonomi Indonesia saat ini, dan bahkan sedang mengalami involusi yang mengkhawatirkan. Dibutuhkan kehadiran suatu kebijakan sosial ekonomi yang mendasar dan komprehensif dalam pembangunan agribisnis, sebagai bagian dari proses pemberdayaan ekonomi petani.

   Upaya kelembagaan sebagai prasyarat keharusan dalam membangun pertanian (agribisnis) berdaya saing dan berkeadilan diharapkan dapat menjadi “kunci pembuka”. Akan tetapi, “kunci pembuka” inipun diyakini tidak akan cukup tanpa adanya upaya-upaya manajemen dalam mengembangkan agribisnis sesuai lingkungan internal maupun eksternalnya. Harus ada semacam prasyarat kecukupan (sufficient condition) berupa upaya manajemen (management building). 

       Dinamika dan keragaman yang tinggi dalam karakteristik lingkungan produksi agribisnis tentu memerlukan antisipasi yang tinggi pula dalam mengeliminasi dampak-dampak yang tidak dikehendaki. Hal yang sama terjadi dalam aspek sosial budaya yang juga terus mengalami perubahan, terutama dalam kaitannya dengan perilaku konsumsi (misalnya dari rumah tangga ke food service industry, berkembangnya grazing food dan street food serta pendidikan dan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan dan kebugaran yang sedang dan akan merubah cara-cara konsumen dalam mengevaluasi suatu produk). Jelas karakteristik dan kecenderungan perkembangan karakteristik agribisnis mempunyai implikasi penting dalam manajemen agribisnis. Oleh karena itu, meningkatkan kontribusi agribisnis dalam suatu konstruksi perekonomian secara keseluruhan adalah sama dengan membangun manajemen agribisnis dengan memperhatikan karakteristik agribisnis pada berbagai kondisi yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah, karakteristik proses produksi dan produk agribisnis yang berbasis pada proses biologis mengisyaratkan bahwa pengusahaan agribisnis haruslah terintegrasi secara vertikal. Hal ini memberi arti bahwa subsistem agribisnis hulu, budidaya dan subsistem hilirnya diharapkan berada pada satu
sistem manajemen yang integratif secara vertikal. 

    Tuntutan integrasi vertikal ini pada dasarnya dilandasi oleh argumen teknis maupun argumen finansial/ekonomi. Berdasarkan argumen teknis, antara kaitan sektor hulu-hilir memiliki ketergantungan teknis yang sangat tinggi sesuai karakteristik produk biologis.  Untuk menghasilkan produk bawang merah dengan residu pestisida rendah misalnya, tidak mungkin dicapai bila hanya mengandalkan kegiatan produksi pada sektor hilir saja, tapi harus didukung oleh teknologi budidaya dengan penggunaan pestisida seminimum mungkin (pada sektor budidaya). Teknologi budidaya seperti itu hanya mungkin dilakukan bila bibit bawang merah yang dihasilkan pada sektor hulu adalah bibit yang tahan penyakit dan produktivitas hasilnya tinggi (misalnya teknologi bibit transgenic). Contoh ini menunjukkan perlunya konsistensi produk (jumlah, jenis, mutu, kontinuitas) yang hanya mungkin dicapai bila sektor hulu, budidaya dan hilir dalam agribisnis dikelola dalam suatu manajemen yang integratif.

        Dari segi ekonomi, tuntutan pengelolaan/pengusahaan integrasi vertikal agribisnis pada dasarnya untuk menghilangkan (meminimumkan) ketimpangan margin pada berbagai sektor hulu, budidaya dan hilirnya. Keadaan buruk inilah yang seringkali terjadi pada kegiatan agribisnis saat ini. Agribisnis yang dikelola tidak secara integratif (tersekat-sekat, sendiri-sendiri) memberi dampak masalah ketimpangan marjin, dan biasanya sektor budidaya menjadi korban karena struktur ekonomi yang dualistik. Informasi pasar (sebagai akibat perubahan selera, konsumen, harga) tidak ditransmisikan secara “adil” kepada sektor hilir, budidaya dan hulunya, bahkan cenderung ditahan untuk memperkuat posisi monopsonistis pada sektor hulunya. Selain itu, manajemen agribisnis yang tidak integratif akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi pada sektor agribisnis, lebih-lebih dalam struktur ekonomi yang dualistik (sektor budidaya dengan petani dan UMKM, sektor hulu dan hilir dengan industri besar).

  Manajemen agribisnis integrasi vertikal juga memungkinkan agribisnis untuk meningkatkan penetrasi pasar (market penetration), mengembangkan pasar (market development) maupun pengembangan produk (product development) melalui strategi strategi pemasaran 4P (price, product, place, promotion). Karakteristik konsumen produk agribisnis yang sangat dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dan segala keragamannya, memerlukan diffrensiasi 4P untuk peningkatan pangsa pasar. Dengan perkataan lain, dengan manajemen integrasi vertikal memungkinkan perusahaan agribisnis untuk lentur dalam volume, mutu produk, delivery, dan lain-lain untuk menjawab perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi. Inilah tantangan manajemen sekaligus “tekanan” bagi petani dan pertanian kita menyongsong masa depannya.

Sumber : www.smecda.com/.../01_08_KOPERASI_DAN_AGRIBISNIS.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar