Kamis, 27 Desember 2012

EFISIENSI UNIT-UNIT KEGIATAN EKONOMI INDUSTRI GULA YANG MENGGUNAKAN PROSES KARBONATASI DI INDONESIA

Review 1 Pendahuluan dan Abstraksi
Efisiensi Unit-Unit Kegiatan Ekonomi Industri Gula
Yang Menggunakan Proses Karbonatasi di Indonesia

Victor Siagian
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta

ABSTRAK
   Highly government intervention caused crucial Indonesian sugar market structure. This condition stimulated low productivity, high cost economy, increasing in sugar price and imported sugar. Increased sugar import either legal or illegal must be concerned because international sugar market is thin market and also sugar industry is capital intensive, more over in the beginning of trade liberalization. One of the methods for eliminating imported sugar namely to identified sugar industry efficiency especially carbonatization sugar industry using Data Envelopment Analysis (DEA). 
     DEA calculates relative efficiency to peer unit namely sugar factories in which have highly efficiency score. There are three sugar factories, using carbonatization process, have lowly efficiency score and need input multiplier or reallocation in using input from peer unit. 
        Keywords : Government Intervention, Sugar Market Structure, Legal and Illegal
Import, Thin Market, DEA, Relative Efficiency, Peer Unit.


PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
    Motivasi studi ini berkaitan dengan maraknya isu mengenai pro-kontra impor produk pertanian khususnya gula. Isu tersebut merebak karena dihadapkan kepada kekuatan pihak produsen gula domestik, khususnya petani tebu, akan terancam kelangsungan produksi gula dalam negeri. Kekuatan produsen gula domestik dapat dipahami karena harga pasar gula impor lebih rendah dari harga gula produksi domestik. 
    Produksi gula nasional semakin menurun selama beberapa tahun terakhir. Produksi gula nasional pernah meningkat relatif cepat dalam periode 1980-an, akan tetapi lambat sekali dalam periode awal 1990-an, dan setelah tahun 1994 produksi gula nasional terus menurun. Peningkatan produksi gula adalah disebabkan oleh perluasan areal tanaman tebu, bukan disebabkan oleh peningkatan produktivitas (Sekretariat Dewan Gula, 2001). Menurut Statistik Impor, Badan Pusat Statistik 2000, pasokan gula dunia akan semakin terbatas pada sejumlah kecil negara. Kondisi ini dapat menjadi rawan bila ketergantungan impor gula Indonesia dalam jumlah besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat menstimulir untuk meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan produktivitas dan efisiensi dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri gula nasional dengan prioritas utama pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri.
      Para petani tebu hanya memiliki dua pilihan, jika krisis industri gula tidak tertangani.Petani akan  kebun tebu dan beralih ke tanaman lain atau mereka akan membiarkan tanaman tebu yang ada tanpa perawatan, sehingga hasilnya minim. Apabila langkah ini dilakukan, maka pasokan tebu ke pabrik gula akan anjlok yang mengakibatkan pabrik gula dapat ditutup. Hal ini terjadi karena masuknya gula impor sehingga gula dalam negeri tidak dapat bersaing (Harian Kompas, 10 September 2002). Gula impor legal dan ilegal yang masuk ke pasar telah menekan harga gula produksi dalam negeri. Situasi demikian akan membawa industri gula pada situasi krisis karena pabrik gula mengalami kesulitan pasokan tebu. Sebanyak 44 pabrik gula di Indonesia terancam bangkrut. Pemicu rendahnya suplai bahan baku ini karena petani tertarik menanam tebu akibat merosotnya nilai ekonomisnya (Harian Kompas, 14 September 2002). Peluang masuknya gula impor karena produksi gula nasional mencapai 3,2 sampai 3,5 juta ton setahun. Selain itu tarif bea masuk gula putih (White Sugar) Rp. 700,- per kilogram dan gula mentah (Raw Sugar) Rp. 550,- per kilogram yang cukup tinggi sehingga mendorong masuknya gula impor ilegal. Kondisi ini mengakibatkan daya saing gula dalam negeri menurun.
     Tingginya intervensi pemerintah menyebabkan berbagai masalah dalam struktur pasar gula Indonesia yang pada akhirnya mendorong rendahnya peningkatan produktivitas, tingginya harga gula di tingkat konsumen serta meningkatnya impor gula. Meningkatnya impor gula patut diwaspadai mengingat pasar internasional gula termasuk pasar yang tipis (Thin Market), sementara industri gula nasional merupakan industri yang padat karya, apalagi dengan semakin meningkatnya arus liberalisasi perdagangan. Salah satu upaya untuk menghadapi ancaman gula impor adalah mengkaji industri gula dalam negeri, khususnya pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi. Akhir-akhir ini, sejumlah besar pabrik gula (PG) di Jawa menghadapi kesulitan dalam penyediaan bahan baku tebu, hal ini dilihat dari menurunnya Hari Giling serta meningkatnya Jam Berhenti Giling yang disebabkan oleh kekurangan bahan baku. Kondisi PG yang telah tua dan kesulitan tebang dan angkut telah mempengaruhi rendemen dan kualitas tebu, sehingga biaya produksi gula lebih mahal (Sawit, 1998; Prabowo, 1996 dan Sekretariat Dewan Gula, 1997). Tampaknya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diimplementasikan selama ini telah mempersulit perkembangan industri gula nasional yang efisien. 
      Kegagalan peningkatan produksi gula di satu pihak, dan meningkatnya permintaan gula di lain pihak, telah mendorong pemerintah untuk meningkatkan impor gula pasir. Tebu rakyat nantinya diperkirakan akan berkembang pada wilayah yang secara tradisional telah mengenalnya seperti di Pati dan Malang Selatan. (Soentoro et.al. 1999). Rosengrant et.al (1987) mengemukakan bahwa industri gula Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan tanpa penjatahan areal, petani akan beralih kepada komoditas lain. Peningkatan efisiensi perlu terus diupayakan untuk memantapkan daya saing komoditas gula. Pengembangan industri gula untuk tujuan substitusi impor dan promosi ekspor tidak memiliki daya saing (Rosegrant et.al, 1987). Hasil studi PSE dan P3GI (1996) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur pertanaman dan katagori tanaman tebu yang berlangsung sejak awal tahun delapan puluhan. Dalam periode 1980-1990 proporsi areal tebu lahan kering meningkat dengan laju 11,9 persen/tahun, yaitu dari 20,9 persen menjadi 48,9 persen. Kategori tanaman tebu kepras (ratoon) meningkat dari 31,3 persen menjadi 62,6 persen atau meningkat dengan laju 7,3 persen/tahun. Dengan demikian peranan tebu kepras dan tebu lahan kering menjadi semakin penting dalam  penentuan keunggulan komparatif industri gula secara keseluruhan. Selain faktor produktivitas, pengembangan tebu di lahan kering yang semakin meluas memunculkan masalah baru seperti meningkatnya biaya pengangkutan tebu ke pabrik, melemahnya lingkup kendali (span of control) dan skala ekonomi (PSE dan P3GI, 1996). Kesemuanya ini akan memperlemah keunggulan komparatif pengembangan tebu di lahan tegalan yang akhirnya akan memberikan dampak secara agregat.
     Dengan demikian impor gula menguras devisa negara cukup besar, dan diperkirakan akan semakin memberatkan perekonomian nasional dalam kondisi rupiah yang mengalami depresiasi yang cukup tinggi sekarang ini. Menurut Statistik Impor, Badan Pusat Statistik, pasokan gula dunia akan semakin terbatas pada sejumlah kecil negara. Kondisi ini bisa menjadi rawan bila ketergantungan impor gula Indonesia dalam jumlah yang besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat menstimulir untuk meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan produktivitas dan efisiensi dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri gula nasional dengan prioritas utama pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Hasil giling tahun 2002 disajikan pada Tabel 1.

Menurut P3GI (1997), salah satu langkah yang perlu ditempuh dalam pembangunan industri gula adalah melalui peningkatan efisiensi pabrik gula. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah : (1) pabrik yang sudah tua, (2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling yang kurang dari 2.000 ton tebu per hari dan (4) jam berhenti giling yang tinggi. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2001), kendala utama yang dihadapi pabrik gula saat ini adalah : (1) rendahnya kualitas bahan baku, (2) rendahnya kapasitas sebagian pabrik serta rendahnya efisiensi pabrik (tingginya jam berhenti dan (3) tingginya biaya produksi.
     Penelitian tentang efisiensi teknis dapat dibaca pada Simatupang dan Mewa (1987) dan Dewa (1996), kedua penelitian tersebut mempergunakan fungsi produksi frontier. Ini merupakan suatu kemajuan dibandingkan dengan penelitian lainnya yang mempergunakan fungsi rata-rata. Berbagai efisiensi alokatif dapat dibaca pada Pakpahan (1982) dan Sugianto (1985). Contoh penggunaan fungsi produksi dapat dilihat pada Sawit (1985). Fungsi produksi yang banyak dipergunakan adalah fungsi produksi Cobb-douglass. Fungsi ini terkenal kesederhanaannya. Penentuan skala ekonomi dengan fungsi biaya dapat dibaca pada Christiansen dan Green (1976) dan Binswanger (1974). Simatupang (1988) mengemuka-kan akhir-akhir ini analisa yang banyak dipakai dalam penelitian ekonomi produksi adalah fungsi keuntungan. Dengan alat analisa ini hampirsemua parameter yang berkaitan langsung dengan produksi dapat diperoleh.
    Jenis fungsi keuntungan yang banyak dipakai dalam penelitian adalah fungsi Cobbgotglass dan translog. Fungsi keuntungan Cobbdouglass adalah salah satu bentuk khusus dan fungsi translog (Simatupang, 1987). Karena sifatnya yang banyak batasan, fungsi keuntungan ini banyak memiliki kelemahan (Chand and Kaul, 1986, Simatupang, 1987, Suryana, 1987). Namun fungsi keuntungan Cobb-Douglass ini lebih mudah dalam penerapan secara empiris. Oleh karena itulah ia lebih banyak digunakan. Penelitian tentang efisiensi pabrik gula di India dilakukan oleh Ferrantino, M.J. dari US International Trade Commission Office of Economics disertai Ferrier, G.D. dan Linvill, C.B. masing-masing dari Departemen Ekonomi Universitas Arkansas pada tahun 1994. efisiensi pabrik gula yang diteliti meliputi efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi alokatif dengan menggunakan pendekatan nonstocastik-nonparametric production dan cost frontiers yang diestimasi dengan metode linear programmingMenurut P3GI (1997), terdapat lima kriteria pokok yang dapat dijadikan pedoman awal untuk menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :
  1. Kesulitan memperoleh lahan.
  2. Pengembangan lahan tebu mengarah ke lahan kering sehingga biaya angkut tebu meningkat.
  3. Jumlah produksi gula kurang dari 250.000 kwintal per tahun, sehingga harga pokok per unit hasil masih mahal.
  4. Mutu bahan baku belum optimal sehingga biaya produksi pabrik gula tidak efisien.
  5. Kapasitas giling masih banyak yang dibawah 2000 ton tebu per hari.

Berdasarkan lima kriteria pokok tersebut terdapat indikasi bahwa efisiensi pabrik gula Indonesia masih rendah khususnya pabrik gula milik BUMN yang dapat disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 1997). Setelah mengemukakan kriteria pokok efisiensi pabrik gula sebagaimana diuraikan di atas, terdapat aspek-aspek yang erat kaitannya dengan biaya produksi gula yaitu : (1) produksi gula, (2) produksi tebu, (3) impor gula, dan (4) liberalisasi perdagangan. Sehubungan dengan itu, perlu diketahui apakah industri gula domestik di masa mendatang masih dapat diharapkan untuk dipertahankan eksistensinya, khususnya industri gula yang menggunakan proses karbonatasi yaitu pabrik gula Tasik Madu, Gondang Baru, Rejoagung Baru, Sweet Indo Lampung dan Indo Lampung Perkasa.

II. Perumusan Masalah
     Efisiensi merupakan salah satu indikator kinerja unit kegiatan ekonomi dalam industri
gula agar dapat bersaing dengan gula impor. Untuk maksud tersebut, masalah penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apakah industri gula di Indonesia, khususnya pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi, sudah efisien ?
  2. Alokasi input mana dalam pengelolaan pabrik gula yang sudah dan belum efisien ?
  3. Pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi mana yang efisien ?

III. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
  1. Mengukur efisiensi relatif pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbo-natasi di Indonesia.
  2. Mengidentifikasi alokasi input yang sudah dan belum efisien dan cara mengatasinya dalam pengelolaan pabrik gula di Indonesia.



SUMBER : isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4304233239.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar