Kamis, 02 Mei 2013

PRAKTEK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI

Review III Hasil Analisi dan Penutup

PRAKTEK MONOPOLI
DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh: Agus Raharjo
(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001, hal. 41-46)

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Kejahatan korporasi membawa kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Kerugian yang timbul tidak bersifat individual seperti pada kejahatan konvensional, tetapi bersifat universal dan futuristik karena lingkup korban yang lebih luas dan kehidupan masa datang yang menjadi taruhannya. Kasus-kasus pencemaran, seperti kasus Minamata di Jepang, Chernobyl di Rusia serta Bhopal di India menyebabkan rusaknya generasi mendatang adalah contoh-contoh dari kejahatan yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi.
Secara garis besar kerugian yang diderita akibat kejahatan korporasi dapar terjadi dalam bidang ekonomi atau materi, kesehatan dan keselamatan jiwa serta kerugian di bidang sosial dan moral. Akibat yang lain adalah rusaknya nilai-nilai demokrasi dan menghambat proses demokrasi. Kolusi antara pejabat pemerintahan dengan korporasi seperti yang terjadi di Indonesia merupakan halangan bagi demokratisasi. Mengingat besarnya kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat tindakan korporasi, maka tanggung jawab sosial terhadap korporasi perlu dilakukan.
Dalam makalah ini hanya akan diambil salah satu contoh saja. PT. Indofood Sukses Makmur yang memproduksi mie instant menguasi 90% pangsa pasar berkat kejelian dalam membidik pasar dan keahliannya berkolaborasi dengan penguasa (terutama dalam penyediaan tepung terigu). Hampir tiap pulau di Indonesia bahak sampai di luar negeri berdiri pabrik yang memproduksi mie instant sehingga hampir seluruh wilayah Indonesia dari pucuk gunung sampai tepi pantai dapat dijumpai produk mie instant PT. Indofood.
Salah satu bumbu yang dipakai dalam mie instant adalah Monosodium Glutamate atau lebih dikenal dengan MSG. Produk serupa juga diproduksi oleh PT. Ajinmoto untuk penyedap rasa yang menimbulkan kehebohan karena mengandung lemak babi. Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, Monosodium Glutamate adalah garam monosodium asam laktat glutamat, COOH.CHNH2.CH2.COONa berupa bubuk kristal putih yang digunakan dalam pengobatan ensefalopati yang dihubungkan dengan penyakit hati, juga digunakan untuk mempertinggi cita rasa makanan dan tembakau.
MSG ini juga dipakai dalam masakan cina sehingga terkenal dengan istilah Chinese Restaurant Syndrom, yaitu sindrom yang bersifat sementara yang dihubungkan dengan latasi aterial. Akibat yang timbul dari makanan yang menggunakan MSG yang digunakan secara bebas dalam bumbu masakan cina adalah berdenyutnya kepala, lupa daratan, rasa kencang di leher dan bahu serta nyeri pinggang. Bayangkan jika setiap pagi, siang atau sore bahkan malam orang Indonesia mengkonsumsi mie instant khususnya, penderitaan tentunya yang akan dialaminya.
Tentu saja hal ini akan menganggu irama kerja dan daya pikir terutama anak - anak yang menyebabkan kemunduran berfikir. Generasi mendatang akan mengalami degradasi dalam kualitas berfikir akibat salah makan. Apa yang dilakukan Indofood (dan PT. Ajinomoto sebagai produsen utama MSG) dapat digolongkan sebagai kejahatan korporasi di samping kegiatan lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia usaha. Bagaimana tanggung jawab sosial Indofood terhadap hal ini, nyaris tidak ada, dan jikapun ada itu tidak lepas dari bagian kegiatan promosi produk yang dilakukan. Tidak ada tanggung jawab sosial berupa perbaikan bagi generasi penerus yang sudah terkena dampak MSG. Tentunya ini memerlukan penelitian yang lebih mendalam agar apa yang dilakukan korporasi dapat dibawa ke pengadilan.
Tidak semua korporasi di Indonesia mengerti tanggung jawab sosialnya sehingga mereka perlu disadarkan. Kesadaran akan tanggung jawabnya membuat korporasi akan bertindak berhati-hati, terutama dalam melakukan tindakan yang mengakibatkan dampak yang luas bagi masyarakat. Penyadaran mengenai tanggung jawab sosial ini penting, sehingga korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana produknya laku, menguasai pasar (memonopoli) atau memperoleh keuntungan yang besar, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana menciptakan lingkungan usaha yang sehat, menjamin produknya aman, dan terutama tidak merusak generasi muda yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa yang akan datang.

Penutup

Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tumbuh karena adanya kolaborasi antara penguasa/birokrasi dengan pelaku usaha atau korporasi. Pemerintah tidak bisa mengawasi tindakan korporasi dan mengontrol tindakannya sendiri sehingga muncul kebijakan pendirian kartel-kartel, pemberian lisensi secara ekslusif, peraturan-peraturan ad hoc, rintangan perdagangan antar daerah, pengaturan pemasaran hasil pertanian, pemberian subsidi dan keringanan pajak serta diijinkannya merger di antara usaha yang sejenis.
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini ternyata diikuti dengan tindakan kejahatan yang kejahatan korporasi berupa tidak adanya tanggung jawab sosial korporasi terhadap produk yang dipasarkan. Akibatnya timbul penderitaan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia terutama generasi mudanya berupa kemunduran kualitas berfikir sehingga bangsa ini mudah dibohongi.

G. Daftar Pusataka

Box, Steven, Power, Crime and Mystification, London, Tavistock, 1983;
Chatamarrasjid, Undang-undang Larangan Praktek Monopoli, Magna Charta Bagi
Kebebasan Berusaha?, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999;
Clinard, Marshall B. & Yeager, Peter C., Corporate Crime, The Free Press, New
York, 1980;
Hasibuan, Nurimansyah, Struktur Pasar Di Indonesia, Oligopoli dan Monopoli,
Media Eknomi 3 No. 1 Tahun 1995;
International Monetary Fund, Indonesian-Memorandum of Economic and Social
Politic, Jakarta, 15 Januari 1998;
Nusantara, Abdul Hakim G., dan Harman, Benny K., Analisa dan Perbandingan
Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999;
Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi Di Indonesia, Produk Kebijakan Rezim Orde
Baru, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu
Hukum di UNDIP, Semarang, 12 Oktober 1999;
---------------, Kejahatan Korporasi, Makalah suplemen pada Penataran Hukum
Pidana dan Kriminologi, Semarang, 23-30 November 1998;
---------------, Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995;
---------------, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Makalah pada Lokakarya
Nasional untuk Pengembangan Sumber Daya IMKA di Karangpandan, 12-17
Agustus 1992;
Wie, The Kian, Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi
UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis Vol 7, 1999;
Kamus Kedokteran Dorland, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1985;
Majalah Fortune, Desember 1997;
Majalah Gatra, 14 Februari 1998.



YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012


PRAKTEK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI


Review II Analisis

PRAKTEK MONOPOLI
DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh: Agus Raharjo
(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001, hal. 41-46)


Kejahatan Korporasi Dalam Proses Pembuatan Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah orde baru mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia, tetapi tidak sukses dalam mendorong kehidupan industri kecil dan mengengah karena korporasi besa berhasil dalam bidang yang digarap industri kecil dan menengah. Para konglomerat dapat dengan mudah menguasai pasar karena kejahatan yang mereka lakukan melalui lobi dan pendekatan kepada penguasan.
Jika para pejabat publik/birokrat mengetahui sebuah korporasi menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, pejabat publik harus mengambil tindakan agar tidak terjadi praktek monopoli. Apa yang terjadi ternyata tidak demikian karena pejabat publik itu dibungkan oleh para pelaku usaha dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat karena jabatannya. Pelaku usaha selalu mempunyai dana taktis untuk urusan yang satu ini. Ini menunjukkan bahwa birokrasi di pemerintahan merupakan sarang bagi seorang penyamun.
Pemerintah orde baru yang sarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme telah membawa dimensi baru dalam kehidupan birokrasi yaitu kejahatan birokrasi. Budaya korporasi yang negatif telah mencemari birokrasi (atau sebaliknya) sehingga para birokrat bertindak seperti seorang pelaku usaha yaitu mencari keuntungan dari jabatannya. Tidak ada kemuliaan yang didapat dari sebuah jabatan birokrasi jika telah tercemari budaya korporasi yang negatif dan pertimbangan moral menjadi suatu rintangan dalam melanggengkan kekuasaan.
Budaya korporasi yang negatif dalam bentuk prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan, pengendalian pasar dan sebagainya sebagai tujuan organisasi (organizational goal), ambisi pribadi dari pimpinan korporasi yang tanpa batas (anomie of success), penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang kendor, subkultur tidak bermoral yang melanda masyarakat akan menambah maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern (Steven Box 1983: 64).
Hasil kolaborasi antara korporasi dan kebijakan pemerintah melahirkan monopoli dalam berbagai usaha, seperti monopoli perdagangan tepung terigu oleh PT. Bogasari Flour Mills yang ditunjuk oleh Bulog untuk mengolah biji gandum. Penetapan harga jual tepung terigu ditentukan oleh Bulog dan Bogasari. Bogasari tidak memperoleh keuntungan maksimal sehingga ia melakukan diversifikasi usaha ke hilir yaitu mie instant yang menggunakan bahan baku tepung terigu. Kondisi ini menyebabkan PT. Indofood Sukses Makmur yang memproduksi Indomie, Sarimie dan Supermie menguasai hampir 90% pangsa pasar.
Indofood dapat menguasai pangsa pasar karena memiliki brand (maintaining the brand) yang baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Tugas utama dari maintaining the brand adalah melakukan romancing the brand sebagai positioning. Usaha sejenis tidak dapat masuk ke pasar yang dikuasai Indofood karena tidak mempunyai brand yang baik dan terpelihara. Usaha sejenis perlu melakukan economische the brand dan secara pelan-pelan membangun positioningnya sendiri. Jadi di samping faktor kemudahan yang diperoleh Indofood (berupa harga gandum yang murah), sebab lain adalah metode pemasarannya yang baik.
Selain Indofood, perusahaan yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% adalah PT. Intiboga S yang memproduksi minyak goreng Merek Bimoli (60%), PT. Aqua GM (83%), PT. Unilever (Rinso, 58,9%), PT. Asahimas (Asahi Glass, 65%), PT. Pertamina (Olie Mesran, 60,1%).

UU No. 5 Tahun 1999 dan Dampaknya Bagi Dunia Usaha

Apa yang dilakukan oleh pemerintah orde baru dan pelaku usaha benar-benar telah menggerogoti daya saing dan efisiensi ekonomi negara yang bersumber pada berbagai perundangan-undangan. Hal ini membawa Indonesia ke dalam krisis yang berkepanjangan sehingga memerlukan bantuan pihak lain untuk memulihkannya dengan menggadaikan kedaulatan negara yang selama ini diagung-agungkan.
Berdasarkan memorandum IMF tanggal 15 Januari 1998, butir 31, 40 dan 41 pemerintah harus melakukan struktural reform yang meliputi usaha deregulasi dan privatisasi (swastanisasi) ekonomi Indonesia. Sejak 1 Februari 1998 semua pengaturan pemasaran yang bersifat restriktif (restrictive marketing arrangements) baik yang formal maupun informal dihapuskan. Tidak diijinkan menentukan wilayah pemasaran ekslusif (exclusive marketing areas) atau volume produksi/pangsa pasar tertentu bagi perusahaan-perusahaan tertentu. Hasil-hasil pertanian bebas untuk diperjualbelikan, monopoli Bulog dihapus kecuali untuk beras. Pengolah tepung terigu bebas menjual dan mendistribusikan tepung terigu kepada pedagang eceran.
Dari memorandum tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi utama dibuatnya UU No. 5/1999 adalah untuk memperoleh bantuan IMF yang sangat dibutuhkan, di samping keinginan IMF untuk membuka pasar Indonesia bagi produkproduk luar negeri yang selama ini dikuasai atau dimonopoli oleh pengusaha/konglomerat Indonesia. Apa yang dikatakan dalam bagian menimbang pada undang-undang itu untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik dengan melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat hanyalah omong kosong belaka, kata-kata pemanis saja (eufemisme) agar dana IMF cepat mengucur, padahal dalam kenyataannya praktek korot dalam bisnis tersebut masih berlangsung.
Jika berpijak pada motivasi larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat yang timbul dari dalam atau hati nurani rakyat Indonesia sendiri, seharusnya undang-undang tersebut sudah lahir sekitar tahun 1980-an atau awal 1990-an ketika praktek monopoli sedang gencar-gencarnya ditentang. Dengan motivasi seperti yang ada dalam undang-undang itu apa yang bisa diharapkan dari sebuah undang-undang pesanan. Bisa saja undang-undang itu dipraktekkan, tetapi pelaku usaha tentunya tidak kalah akal, seperti misalnya PT. Indofood, bias mendirikan usaha sejenis dengan perusahaan dan merek yang berbeda. Motivasi lain adalah misi IMF dalam rangka globalisasi perdagangan yang berusaha membuka pasar Indonesia agar produk-produk asing bisa masuk dan menguasai pangsa pasar dengan harga yang lebih murah. Indonesia akan menjadi international marketing area yang tidak menguntungkan bagi dunia usaha Indonesia.
Dengan kata lain IMF hendak mematikan potensi dunia usaha Indonesia dengan pedang bantuan dana yang dikucurkan itu. Dengan keadaan krisis ekonomi yang berlarut-larut, dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan, dunia usaha Indonesia belum mampu untuk menyaingi usaha asing yang masing ke Indonesia. Apa yang akan terjadi adalah kita hanya akan mengelus dada karena membanjirnya produk asing di negeri ini.
Melihat kondisi seperti itu, apa yang dikatakan Chatamarrasjid bahwa undang-undang ini akan menjadi magna charta bagi kebebasan berusaha nampaknya berlebih-lebihan dan akan sulit terwujud. UU No. 5/1999 tidak bisa disamanak dengan Sherman Antitrust Act yang berlaku di Amerika Serikat. Kita baru bias memiliki undang-undang yang kualitasnya sama dengan Sherman Antitrust Act apabila undang-undang yang lahir bukan atas dasar pesanan sebagai persyaratan bantuan, melainkan undang-undang yang membumi atau dihasilkan dari motivasi
yang lahir dari bangsa Indonesia sendiri.


Yunita Hilda Nilawati (27211679) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012



PRAKTEK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI


Review 1 Pendahuluan

PRAKTEK MONOPOLI
DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh: Agus Raharjo
(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001, hal. 41-46)

Abstraksi

Kebijakan pemerintah orde baru dalam bidang ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa gelintir pengusaha yang mempunyai ikatan romantis dengan penguasa. Monopoli pasar yang dilakukan oleh pengusaha ternyata tidak diikuti dengan tanggung jawab sosial korporasi sehinga pelaku usaha/pengusaha/konglomerat melakukan dua kejahatan sekaligus, yaitu memonopoli pasar dan kejahatan korporasi berupa tidak adanya tanggung jawab korporasi.Penghapusan monopoli perlu dilakukan dan tanggung jawab sosial korporasi terhadap produk yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa perlu digalakkan.

Kata Kunci: Monopoli, Korporasi dan Tanggung Jawab Sosial

A. Pendahuluan
Kondisi perekonomian Indonesia betul-betul terpuruk sejak krisis moneter 1997 sampai sekarang. Hampir semua bidang usaha mengalami kemacetan, booming dan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada dekade 80-an dan awal 90-an tidak mampu menghadang laju krisis yang terus berjalan bak badai di padang pasir, tak ada penghalang satupun. It's economic stupid!!! Demikian kata Bill Clinton ketika bertarung dengan George Bush ketika memperebutkan kursi kepresidenan. Katakata itu tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha yang selama ini dilakukan.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia dipicu oleh kenyataan dominannya peran negara. Paul Krugman dari MIT dalam majalah Fortune (Desember 1997) menyebutkan kondisi demikian dengan istilah statism yang hampir dimiliki oleh semua negara Asia. Kemajuan yang dicapai negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan tentu Indonesia tak lepas dari peran dominannya negara dalam mengontrol pelaku ekonomi dan alokasi sumber daya.
Ironisnya dominasi negara yang besar itu justru dianggap banyak kalangan sebagai kunci sukses keajaiban Asia. Mereka sering menyebutnya Asian model of economic development. Dua bulan sebelum handover Hongkong, Juli 1997, di Harvard Business School Alumni Conference di Hongkong, Michael Porter memperingatkan bahwa negara Asia kini sedang dalam keadaan bahaya karena adanya very strong government management. Apa yang dikatakannya ternyata benar, beberapa negara Asia mengalami krisis yang menggoncang perekonomian dan pemerintahannya.
Indonesia tidak luput dari kondisi yang demikian dan untuk mengatasinya, pemerintah mencari sumber dana lain untuk menghidupi perekonomian dan pemerintahannya. Hampir semua lembaga keuangan dunia dilobi agar bisa mengucurkan dananya ke Indonesia. International Monetary Fund (IMF), mau mengucurkan bantuannya dengan berbagai persyaratan yang salah satunya adalah diadakan atau dibuatnya undang-undang anti monopoli.
Jika dilihat dari sejarah konstitusi, kata monopoli bukanlah barang baru meskipun masih dalam taraf utopia. Praktek ketatanegaraan menunjukkan bahwa larangan monopoli yang ada dalam UUD 1945 dikebiri, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan ekonomi dan pelaku usaha harus benar-benar pandai menyiasatinya (dengan mengambil hati para penguasa untuk mendapatkan proyek yang ditenderkan oleh pemerintah).
Krisis ekonomi yang berlangsung hingga hari ini merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pelaku bisnis, birokrasi serta elit penguasa. Akibat dari krisis ini masih kita rasakan hingga kini khususnya bagi rakyat banyak terhadap perilaku atau fenomena yang merugikan dan merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku demikian dinamakan kejahatan dan lebih spesifik lagi adalah kejahatan korporasi (I.S.Susanto 1999: 2).
Tulisan ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai kejahatan korporasi dikaitkan dengan praktek monopoli yang berlangsung di Indonesia serta implikasi undang-undang anti monopoli di masa mendatang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kritis karena pendekatan ini dapat menggambarkan proses-proses yang dilakukan manusia dalam membangun masyarakat dan dunianya (I.S. Susanto 1992: 3).
  
B. Model Tindakan Pemerintah yang Mendorong Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang kompetitif. Kondisi yang kompetitif ini menjadi syarat mutlak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang efisien, termasuk proses industrialisasi yang efisien. Dalam pasar yang kompetitif, perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan mutu produk dan memperbaki pelayanan kepada konsumen. Agar berhasil dalam kondisi pasar yang demikian, perusahaanperusahaan harus berupaya mengembangkan proses produksi baru yang lebih efisien dan inovatif, meningkatkan kemampuan teknologi baik teknologi proses produksi maupun teknologi produk. Pada gilirannya hal ini akan mendorong kemajuan teknologi dan dengan sendirinya juga pertumbuhan ekonomi yang pesat (Thee Kian Wie 1999: 60-61)
Dunia usaha Indonesia tidak dibangun dalam kondisi yang demikian. Setidak-tidaknya ada dua rintangan yang menghadang langkah pelaku usaha ke arah pasar yang kompetitif, yaitu rintangan alamiah (natural barriers) dan rintangan yang diciptakan oleh kebijaksanaan pemerintah (policy-generated barriers to competition). Rintangan alamiah yang terpenting adalah skala ekonomi dan pasar keuangan dan modal yang kurang sempurna. Pasar finansial yang kurang sempurna disebabkan oleh persepsi para investor bahwa suatu perusahaan baru yang ingin memasuki suatu pasar tertentu menghadapi resiko bisnis yang lebih besar ketimbang perusahaan mapan yang sudah bergerak di pasar tersebut, sehingga perusahaan baru akan menghadapi biaya investasi yang lebih tinggi.
Rintangan utama berkaitan dengan persaingan domestik (dalam suatu negara) bukan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi, akan tetapi rintangan artifisial yang dibuat oleh kebijakan pemerintah. Rintangan artifisial ini dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan proteksi yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan mapan. Hal ini mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi bagi masyarakat berupa rente ekonomi, yaitu laba monopolis yang diperoleh perusahaan yang mapan berkat proteksi yang tinggi dan mereka nikmati terhadap ancaman persaingan dari pesaing-pesaing potensial, baik perusahaan-perusahaan baru maupun barang-barang impor yang tidak bisa memasuki pasar tersebut karena rintangan yang didirikan pemerintah (Thee Kian Wie 1999: 61-62)
Rintangan artifisial yang dibuat pemerintah orde bari diantaranya adalah didirikannya kartel-kartel, pemberian lisensi secara ekslusif, peraturan-peraturan ad hoc, rintangan perdagangan antar daerah dan pengaturan pemasaran hasil pertanian (Thee Kian Wie 1999: 63-64). Di Indonesia beberapa kartel dibuat oleh asosiasi industri dengan ijin implisit dari pemerintah, seperti kartek di industri semen, industry kayu lapis dan industri pulp dan kertas. Pemberian lisensi ekslusif ini tampak nyata dalam pemberian lisensi kepada Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) tahun 1991 yang memonopoli pembelian dan penjualan cengkeh yang mengakibatkan anjolknya harga cengkeh sampai tingkat terendah.
Pemerintah orde baru sering melakukan campur tangan ad hoc berupa perlakuan preferensial untuk kelompok-kelompok bisnis tertentu (politically wellconnected groups) berupa partisispasi modal ekuiti (saham) dalam perusahaanperusahaan besar milik golongan pengusaha yang mempunyai hubungan tertentu dengan penguasa. Kebijakan yang menghalangi perdagangan antara daerah mengurangi efisiensi nasional karena pasar menjadi terpecah-pecah. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang non kompetitif sehingga merugikan petani karena menurunkan harga jual hasil pertanian.
Kemajuan teknologi, perlindungan yang berlebihan, penciptaan larangan masuk (entry barrier), keringanan pajak dan subsidi serta merger di antara usaha-usah sejenis menyebabkan konsentrasi industri yang melahirkan praktek monopoli (Nurimansyah Hasibuan, 1995). Kebijakan yang diambi pemerintah itu betul-betul menjadikan praktek larangan monopoli dan persaingan usaha menjadi tidak berarti. Dalil yang dikemukakan bahwa monopoli (ingat pasal 33 UUD 1945) dilakukan untuk kepentingan rakyat adalah bohong besar karena ternyata yang diuntungkan adalah penguasa dan kroni-kroninya.


YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012