Minggu, 30 Desember 2012

SISTEM INFORMASI SIMPAN PINJAM DAN IDENTIFIKASI KELAYAKAN PINJAMAN

SISTEM INFORMASI SIMPAN PINJAM DAN IDENTIFIKASI KELAYAKAN PINJAMAN
(Studi Kasus: Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti)
Oleh :
Priscilia Romaria Batubara
prisciliabatubara@gmail.com
Ahmad Suryan
Asa_suryan@yahoo.co.id
Dudi Adhitiara D


Program Studi Manajemen Informatika

Politeknik Telkom Bandung
2011


ABSTRAK

Koperasi merupakan bentuk organisasi ekonomi yang mempunyai peran penting dan berkaitan erat dengan sistem perekonomian di Indonesia saat ini, yang merupakan pilar ekonomi berbasis kekeluargaan dan kegotongroyongan. Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti merupakan sebuah lembaga keuangan masyarakat dengan bentuk Koperasi yang tidak hanya berorientasi bisnis tetapi sangat kental nilai-nilai sosial. Pelayanan yang sekarang berjalan di KSP Yudha Bhakti ini masih dilakukan dengan cara manual dan sebagian menggunakan Microsoft Excel namun belum menggunakan sistem komputer secara optimal.
Proyek akhir ini bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Sistem yang dibuat berbasis Java dan menggunakan MySQL sebagai databasenya. Perancangan aplikasi ini menggunakan UML dan perancangan tabel pada basis data menggunakan Entity Relationship (ERD) dan metode pengembangannya menggunakan Waterfall. Sistem ini menangani transaksi-transaksi yang ada di koperasi (simpanan, pinjaman, identifikasi kelayakan pinjaman, anggota).
Sistem informasi ini bertujuan dapat membantu bendahara dalam mengolah data-data operasional, dapat menampung banyak data, dan terstruktur, serta mempercepat pembuatan laporan simpan pinjam, dan identifikasi kelayakan pinjaman.
Kata Kunci : Koperasi simpan pinjam, Java, Waterfall, Identifikasi Kelayakan Pinjaman 

I. PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan dunia perekonomian mengalami kemajuan sangat pesat baik dalam hal teknologi maupun pemikiran. Salah satunya adalah kegiatan di bidang jasa yaitu koperasi. Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti merupakan sebuah lembaga keuangan masyarakat dengan bentuk Koperasi yang tidak hanya berorientasi bisnis tetapi sangat kental nilai-nilai sosial. Pelayanan yang sekarang berjalan di KSP Yudha Bhakti ini masih dilakukan dengan cara manual dan sebagian menggunakan Microsoft Excel namun belum menggunakan sistem komputer secara optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dibangun sebuah aplikasi Desktop dalam jaringan lokal (LAN) menggunakan bahasa pemrograman Java (berorientasi objek), maka judul yang diambil adalah “Sistem Informasi Simpan Pinjam dan Identifikasi Kelayakan Pinjaman” (Studi Kasus : Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti).

Adapun tujuan yang ingin dicapai, dalam proyek Akhir ini, Membangun sistem informasi simpan pinjam yang dapat menangani transaksi-transaksi yang ada di koperasi (simpanan, pinjaman, identifikasi kelayakan pinjaman, anggota), Membangun sebuah sistem identifikasi kelayakan pinjaman sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan layak atau tidak layaknya anggota koperasi dalam mengajukan pinjaman, Membangun sebuah sistem informasi yang dapat membantu bendahara dalam mengolah data-data operasional, dapat menampung banyak data, dan terstruktur, dan pembuatan laporan.


II. TINJAUAN PUSTAKA
Profil Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti
KSP Yudha Bhakti adalah sebuah lembaga keuangan masyarakat dengan bentuk Koperasi yang tidak hanya berorientasi bisnis tetapi sangat kental nilai nilai sosial, kami menjawab kebutuhan masyarakat akan sebuah kelembagaan Koperasi yang dikemas secara profesional dikarenakan KSP Yudha Bhakti terbentuk oleh lima elemen penting yang menjadi tiang pancang KSP Yudha Bhakti.

STRUKTUR ORGANISASI KSP YUDHA BHAKTI
Gambar 2.2. Struktur Organisasi KSP Yudha Bhakti

Koperasi
Koperasi merupakan usaha bersama yang berlandaskan asas kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Koperasi simpan pinjam mendapat modal dari berbagai simpanan, pinjaman, penyisaan dari hasil usaha termasuk cadangan serta sumber-sumber lainnya, Dalam koperasi
dikenal tentang berbagai simpanan, pinjaman, jenis modal yaitu :
1. Simpanan Pokok
2. Simpanan Wajib Simpanan Pinjaman 
3. Jasa Pinjaman/angsuran.

Perancangan Sistem

UML (Unified Modelling Language)
Unified Modelling Language (UML) adalah keluarga notasi grafis yang didukung oleh meta-model tunggal, yang membantu pendeskripsian dan desain sistem perangkat lunak, khususnya sistem yang dibangun menggunakan pemrograman berorientasi objek (OO).
Use case Diagram
Use case adalah teknik untuk merekam persyaratan fungsional sebuah sistem. Use case mendeskripsikan interaksi tipikal antara para pengguna sistem dengan sistem itu sendiri, dengan member sebuah narasi tentang bagaimana sistem tersebut digunakan. (Fowler 2004).
Java Programming Language
Java adalah sebuah bahasa pemrograman berorientasi objek. Java adalah bahasa pemrograman serbaguna. Java dapat digunakan untuk membuat suatu program sebagaimana Anda membuatnya dengan bahasa seprti C++.
Java Netbeans
Setelah Anda mengenal dasar-dasar pemrograman GUI dari Java dengan menggunakan notepad, sudah seharusnya Anda berpindah ke IDE seperti Netbeans. Karena aplikasi yang ditulis pada program Java jika hanya menggunakan notepad, tentu akan sungguh menyiksa dan membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi.

III. Analisis Kebutuhan dan Perancangan
Gambaran Umum Sistem
Koperasi Simpan Pinjam Yudha Bhakti merupakan sebuah lembaga keuanganmasyarakat yang berbasis kekeluargaan dan juga berfokus pada simpan pinjamnya.

Perancangan Sistem
- Use case diagram

Gambar 3.2. Use Case diagram KSP Yudha Bhakti
- Sequence Diagram
   Login
Gambar 3.3. Sequence Login
- Masukkan Data Anggota
Gambar 3.4. Masukkan Data Anggota
- Update data Anggota
Gambar. 3.5 Update data anggota
- Masukkan Data anggota 
Gambar 3.6. Masukkan Data Anggota
- Cari Data Simpanan
Gambar 3.7 Cari Data Simpanan
- Masukkan Data Pinjaman
Gambar 3.8 Masukkan Data Pinjaman
- Cari Data Pinjaman
Gambar 3.9. Cari Data Pinjaman
- Masukkan Data Angsuran
Gambar 3.10. Masukkan Data Angsuran
- Memasukkan Data Identifikasi Kelayakan
Gambar 3.11 Memasukkan Data Identifikasi Kelayakan
E/R DIAGRAM
Class Diagram


Perancangan Antarmuka
- Perancangan Antarmuka Login
- Perancangan Antarmuka Menuboard
- Perancangan Antarmuka Form Anggota
- Perancangan Antarmuka Form Pinjaman
- Perancangan Antarmuka Form Anggota Keluar
- Perancangan Antarmuka Form Identifikasi Kelayakan Pinjaman
- Perancangan Antarmuka Form Simpanan
- Perancangan Antarmuka Form Angsuran
- Perancangan Antarmuka Form Laporan

IV. IMPLEMENTASI
- Halaman Awal
Gambar 4.1 Halaman Awal
- Menu Board

Gambar 4.2 Menu Board
- Home Panel
Gambar 4.3 Home Panel
- Ubah password
Gambar 4.4 Ubah Password

Form Anggota
1. Anggota Masuk
Gambar 4.5 Anggota Masuk
2. Anggota Keluar
Gambar 4.6 Anggota Keluar
 Form Identifikasi Kelayakan Pinjaman
Gambar 4.7
   Form Pinjaman
Gambar 4.8 Form Pinjaman

  FORM SIMPANAN
  1. Menyimpan
Gambar 4.9 Menyimpan
 2. Ambil Simpanan
Gambar 4.10 Ambil Simpanan
  Form Angsuran
Gambar 4.11 Form Angsuran
  Laporan
Gambar 4.12 Laporan

V. Kesimpulan 
Pada Proyek Akhir ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Sistem Informasi Simpan Pinjam dan Identifikasi Kelayakan Pinjaman ini telah berhasil dibangun, aplikasi ini membantu bendahara KSP YUDHA BHAKTI dalam mengelola data anggota dan transaksi-transaksi yang ada di koperasi ini .
2) Sistem informasi ini juga membantu pengambilan keputusan layak atau tidak layaknya pemberian pinjaman pada KSP YUDHA BHAKTI.

VI. Saran
Aplikasi ini masih perlu dikembangkan khususnya dalam hal pembuatan laporan per periode kwaktu tertentu guna memperbaiki kinerja KSP YUDHA BHAKTI saat ini dan meningkatkan keamanan koperasi.


Sumber: http://library.politekniktelkom.ac.id/opac/index.phpkeywords=SISTEM+INFORMASI+SIMPAN+PINJAM+DAN+IDENTIFIKASI+KELAYAKAN+PINJAMAN+%28Studi+Kasus%3A+Koperasi+Simpan+Pinjam+Yudha+Bhakti%29&search=Search

YUNITA HILDA N (27211679) / 2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012




Jumat, 28 Desember 2012

Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi Dunia Menghadapi Persaingan Global


Review 3 Hasil Analisis dan Penutup
Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi 
Dunia Menghadapi Persaingan Global
Oleh: Noer Soetrisno

KEMBALI KE PRINSIP KOPERASI
    Koperasi dari sejak kelahirannya didasari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu antara selfhelp cooperation atau individualitet solidaritet (Moh Hatta) selalu disebut bersamaan untuk menggambarakan dasar pendirian koperasi. Dengan cara pandang ini koperasi sering dilihat sebagai kerjasama pasar dari sebagian pelaku ekonomi dalam melawan ketidakadilan pasar yang terjadi. Sementara kerja sama yang melibatkan lebih dari satu orang yang menempatkan kebersamaan sebagai dasarnya maka tidak dapat terlepas dari dimensi sosial. Oleh karena itu koperasi juga sering ditempatkan sebagai bentuk member base economic organization fiz a fiz capital base economic organization. Gambaran inilah yang menjadikan koperasi selalu menjadi pilihan untuk mengatur ekonomi orang banyak yang lemah dalam menghadapi persaingan pasar. 
     Namun karena sejarah pengenalan koperasi yang berbeda maka pemikiran koperasi pun juga berkembang dengan mazdab yang berbeda-beda bahkan kaitan antara dimensi ekonomi murni dengan masalah politik dan sosial banyak campur aduk, terutama di negara sedang berkembang. Hingga tahun 1961 praktis kita belum pernah menemukan definisi koperasi yang didokumentasikan secara formal dan diakui oleh dunia international, meskipun koperasi telah hadir sejak abad 18. Koperasi diberikan pengertian yang diterima international pada awalanya oleh organisasi bukan milik gerakan koperasi, justru oleh lembaga international yang menangani masalah perburuhan yakni ILO. ILO lebih menekankan pada peran koperasi sebagai instrument untuk memperbaiki kesejahteraan para pekerja, oleh karena itu yang menonjol adalah persyaratan seseorang untuk menjadi anggota koperasi sehingga lebih ditekankan pada kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi. Pada tahun 1990an ditengah arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan, koperasi dunia juga mempertanyakan kelangsungannya ditengah arus swastanisasi dan persaingan yang semakin tajam sebagaimana terlihat dalam kongres Tokyo 1992. Namun pada tahun 1995 gerakan koperasi dunia melalui kongresnya di Manchester Inggris menjawab dengan 2 pokok tema kembali kepada nilai dan jati diri koperasi dan menempatkan koperasi sebagai badan usaha atau perusahaan (enterprise) dengan pengelolaan demokratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Gerakan koperasi kembali menyatakan keharusannya bagi koperasi untuk menjunjung tinggi nilai etika (ethical values) yaitu: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, opennss, social responsibility,and caring for others). Sejak itu gerakan koperasi dunia memiliki definisi secara formal dan tertulis untuk menjadi kesepakatan gerakan koperasi dunia.
      Di kawasan Asia Pasific sejak 1990 telah terjadi interaksi yang baik antara gerakan koperasi dan pemerintah melalui pertemuan dua tahunan. Dalam menanggapi dinamika kawasan yang sedang terjadi telah menetapkan beberapa prinsip sebagai dasar untuk membangun tindakan bersama yaitu: Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jatidiri sebagai suatu organisai otonom, lembaga yang diawasi anggotanya, dan apabila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi (otonom dan independen). Kedua,potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koeperasi dihormati dalam peraturan perundangan. Ketiga,koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadan mereka dan apa yag dapat mereka perbuat. Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lain bila terjadi lapangan permainan yang sama (fair playing flied). Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self regulation). Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jati dirinya. Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila kemitraan ini menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan. Ketujuh sikap ini akan mendasari desakan gerakan koperasi terhadap anggota dan pemerintah di negara masing-masing, sehingga dapat kita pandang sebagai gerakan bola salju yang akan dilakukan oleh masyarakat koperasi dunia.
      Koperasi sebagai perusahaan (badan usaha) kemampuannya untuk mengelola usaha setelah mampu memenuhi persyaratan kelayakan tentu akan sangat ditentukan oleh kualitas SDM. Dan koperasi besar akan selalu memiliki kemampuan untuk menghadirkan kualitas SDM yang diperlukan. Keberhasilan bisnis koperasi yang ada jelas ditentukan kualitas SDM yang mengelolanya, tetapi kualitas kehidupan koperasi tidak dapat dijamin oleh para manager profesional sendiri. Disini peran anggota yang aktif dan mampu mengontrol jalannya koperasi akan tetap menentukan kualitas kehidupan koperasi sesuai jatidirinya dalam perusahaan koperasi
PENUTUP
     Dengan dijalankanna koperasi sesuai dengan prinsip, nilai dan identitas koperasi di atas diharapkan koperasi dapat berkembang secara wajar. Berbagai langkah ke depan memang agak berat, misalnya dalam pengembangan koperasi yang otonom dan mandiri diperlukan kesiapan untuk berkompetisi dengan pelaku ekonomi yang lain dalam persaingan domestik dan global. Dalam hal ini, pengembangan usaha koperasi perlu didudukan secara realistis, agar aplikasi pengembangan dan pembinaan koperasi berjalan dengan baik. Dengan demikian koperasi berjalan untuk kepentingan dan kesejahteraan anggota, yang dalam jangka panjang sebagai jawaban dan jaminan bagi terwujudnya kebersamaan dan kesejahteraan bersama. Kerangka berfikir ini sekaligus menghilangkan keraguan terhadap peran koperasi sebagai wujud pelaksanaan demokrasi ekonomi, yang menjamin terwujudnya kesejahteraan bersama dikalangan anggota koperasi.
Sumber:  www.smecda.com/deputi7/file.../Koperasi_Indo_Gerakannya.pdf
YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi Dunia Menghadapi Persaingan Global

Review 2 Analisis
Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi 
Dunia Menghadapi Persaingan Global
Oleh: Noer Soetrisno

DETERMINAN KEMAJUAN KOPERASI BERDASARKAN PRAKTEK TERBAIK
    Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Di masa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan mengedepankan issue tekanan ekonomi pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi  keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. 
  Dalam hal resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara international. Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi dimana-mana sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 kongres ICA di Tokyo melalui pidato presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private interprise”. Namun dalam perdebatan di Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada, sebab didirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dikerjakan oleh perusahaan lain harus terbuka bagi koperasi . Koperasi kuat karena menganut “established for last”. Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai etika koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. 
     Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasisosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka. Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi.
      Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan konferensi pertama para menteri-menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA – Regional Office of The Asian dan Pasific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang regular setelah konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yag terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah (secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi. Pada bagian berikut dapat dijelaskan syarat-syarat kemajuan koperasi berdasarkan best-practive di dunia. 
Syarat 1: “Skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi”
    Sejarah koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dr tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di Belanda dan Perancis kemudia produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat umumnya telah melewati garis kemiskinan. Contoh pada saat revolusi industri pendapatan/anggota Inggris sudah berada pada sekita US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan perkapita dimulai pendapatan perkapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,- Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun menjadi konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Bukti empiris pentingnya faktor ini juga telah ditunjukan oleh pesatnya perkembangan koperasi konsumen di Kuwait pasca pendudukan Iraq. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
Syarat 2: “Harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi.”
    Di daratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh bebagai kekuatan. Bahkan dua bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni “Credit Agrocole” di Perancis dan “Rabo-Bank” di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hamper di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah “potensial customer-member” dari koperasi kredit.
Syarat 3: “Posisi koperasi produsen yang menhadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi”
    Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara special terdapat contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampakya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teraktur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh. 
    Koperasi yang kuat selalu ditandai oleh kemampuan menjaga derajad monopoli tertentu secara berkesinambungan baik karena factor alami maupun buatan. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparasi structural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara riil telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi lompatan sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal. Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama di sektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar, yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi  barang di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
Syarat 4: “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (Pengembangan SDM)”
  Koperasi selain sebagai sebagai organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol social menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Sumber: www.smecda.com/deputi7/file.../Koperasi_Indo_Gerakannya.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi Dunia Menghadapi Persaingan Global

Review 1 Pendahuluan
Koperasi Indonesia dan Gerakan Koperasi 
Dunia Menghadapi Persaingan Global
Oleh: Noer Soetrisno

PENGERTIAN KOPERASI

Pengertian koperasi dapat didekati melalui beberapa aspek. Secara normatif berkembang berkaitan dengan interpretasi denga menafsirkan bangun usaha koperasi sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, yang selama ini menjadi jiwa badan usaha seperti koperasi dan usaha badan kooperatif lainnya. Perdebatan mengenai penafsiran ini telah sejak lama terjadi. Bahkan beberapa kali telah terjadi perdebatan yang terhadap penafsiran asas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945, khususnya yang menyangkut system ekonomi nasional. Kini gerakan koperasi dunia telah memiliki rumusan normatif hingga ke tatanan operasional. Di Indonesia sendiri dengan perubahan UUD 1945 pasal 33, koperasi tidak lagi memiliki rumusan normatif yang eksplisit. Menurut hemat penulis pendekatan normatif haruslah memiliki peluang yang sama dan setara bagi badan usaha apapun. Dengan demikian pendekatan normatif , otomatif tidak bertentangan dengan keberadaan koperasi atau menjamin keberadaan koperasi karena kehadirannya memerlukan persyaratan tertentu.

Kedua, dari sudut legalitas, koperasi merupakan suatu badan usaha yang memiliki status badan hokum, sesuai yang diatur dalam UU No.12 Tahun 1967 dan diubah dalam UU No. 25/1992 tentang perkoperasian. Dengan demikian apabila persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam perundangan-undangan itu dipenuhi, maka koperasi dapat disebut sebagai badan usaha. Perkembangan yang menarik terdapat dalam UU No. 25/1992 , yang secara eksplisit memungkinkan koperasi menjalankan usahanya seperti badan usaha komersial. Dari sudut badan usaha dasar legalitas koperasi yang ada pada saat ini belum menampung konsep saham dalam koperasi, sehingga selalu berhadapan dengan hidden charactisic ketiadaan ekuitas yang memadai dalam kelembagaan koperasi.

Ketiga,dari sudut positifis (dengan mengedepankan peluang yang ada) pengertian koperasi adalah sebagai interpretasi dari pemikiran normatif ke dalam suatu kriteria-kriteria positifis. Dalam hal ini mungkin dapat diuji secara empirik da lebih mendalam tanpa memandang badan hukumnya terlebih dahulu.. Krena sifatnya yang positif wajar saja jika titik beratnya pada pengembangan koperasi yang secara normatif berlaku universal. Secara, positifis pendekatan legalistik juga dapat dipadukan melalui peralatan-peralatan praktis, yaitu dengan memanfaatkan dasar-dasar konsepsi teori ekonomi, khususnya teori ekonomi mikro.

Artinya, koperasi sebagai suatu badan usaha dapat menganut kaidah-kaidah ekonomi perusahaan komersial dan prinsip-prinsip ekonomi. Dengan pemahaman ini diharapkan kita tidak terjebak pada pengertian koperasi dalam batasan yang sempit. Permasalahannya, bagaimana pengembangan praktek koperasi dapat menjalankan prinsip kesejahteraan secara bersama.

KELAHIRAN KOPERASI DI INDONESIA

    Keberadaan dan perkembangan koperasi tidak dapat dilepaskan dengan sejarah kelahirannya. Di barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan nasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di Negara berkembang koperasi di rasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangun untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam mempejuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan. Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorogan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan yang sudah dimuai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui kongres koperasi di Tasikmalaya. 
    Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development”  secara sekaligus. Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD. (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsi lainnya. (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

POTRET KOPERASI INDONESIA

    Selama ini “koperaso” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor – sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Hingga kini masih tersisa kewajiban BUMN untuk menyisahkan keuntungan untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK) sebagai salah satu bentuk dukungan. Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dan perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. 
    Dalam pandangan pengamatan international Indonesia mengiuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas, seperti di sektor pertanian (Sharma, 1992). Koperasi Indonesia setelah 55 tahun berkembang dalam suasana demokrasi terpimpin dan sentralisasi kekuasaan serta politik masa mengambang ternyata tetap hadir di dalam perekonomian kita. Potret koperasi program meskipun mencatat keberhasilan bagi pelaksanaan program pemerintah (swasembada beras maupun pembangunan pertanian dalam arti luas dan pemeliharaan stabilitas ekonomi), namum menimbulkan beban social bagi koperasi yang bersangkutan serta menimbulkan antipasti masyarakat.  Namun gambaran tersebut ternyata hanya menyentuh sekitar 20% dari jumlah koperasi yang ada pada saat sebelum krisis ekonomi (12.000 koperasi/KUD dari 52.000 koperasi keseluruhan pada saat itu) dan hanya menimbulkan pengaruh kurang dari 45% pembentukan aset koperasi. Padahal setelah tahun 1997 benar-benar terjadi transisi peta kekuatan koperasi yang bergeser kepada koperasi non program. 
    Sementara praktis sejak akhir 2000 semua bentuk fasilitas perkreditan program melalui koperasi dihentikan dan mengikuti prinsip perbankan komersial biasa. Sehingga apabila kita jujur masih terlalu besar kenyataan swadaya koperasi dan manfaatnya bagi mendorong roda perekonomian. Koperasi kredit (kredit, simpan pinjam, dan kegiatan pembiayaan oleh koperasi) menguasai 55% dari aset koperasi, melayani hamper 11 juta nasabah serta menempati tempat kedua dalam pasar kredit mikro setelah BRI Unit Desa. Sehingga koperasi simpan pinjam (kredit) telah menjadi jaringan terluas dan paling dekat dengan kegiatan ekonomi lapis bawah yang menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi rakyat. Sektor kegiatan ini praktis kurang menjadi perhatian pemerintah di masa sebelum krisis, meskipun berbagai upaya telah dirintis oleh program negara donor. Dengan melihat berbagai pengalaman dari berbagai negara dan refleksi pengalaman Indonesia yang sarat dengan intervensi selama 50 tahun dan represi terhadap sebagian lainnya sedemikian lama, masih menyisakan karakter kemandirian pada sebagian besar masyarakat koperasi. Maka dari itu koperasi terbukti tetap dapat menjadi instrumen bagi masyarakat untuk bersama-sama menghadapi ketidakadilan pasar sepanjang orang di luar koperasi tidak menetapkan persyaratan koperasi dan mencampuri mekanisme koperasi. Adalah tidak adil jika kita mengadili koperasi Indonesia dengan ejekan, padahal kebiasaan yang dikonotasikan tidak baik itu hanya melanda sebagian kecil koperasi yang terkait dengan program dari luar koperasi dan koperasi tidak berdaya menolaknya. Gugatan ketidakadilan ini selayaknya dialamatkan kepada semua pihak selain pemerintah, para ilmuwan, kaum politisi dan media serta gerakan koperasi sendiri yang perhatiannya bias kepada program koperasi. Sehingga pengamatan yang seimbang terhadap gerakan koperasi tidak mendapat tempat dan citra koperasi menjadi terpinggirkan. Untuk dampak tersebut kita patut angkat jempol, bahwa dari hari ke hari masih semakin banyak orang yang ingin membangun koperasi secara benar dan menjadi baik. Pandangan inilah yang menjadi salah satu kekuatan koperasi sebagai perusahaan yang didirikan oleh one for last.
    Negara mengatur dalam rangka menjaga aturan main yang jelas dan memberikan perlindungan publik terhadap masyarakat baik yang berkoperasi maupun yang berada di luar koperasi. Dengan demikian peran pengaturan dijaga tidak menjadi intervensi yang menimbulkan ketergantungan. Di banyak negara para pendukung gerakan koperasi selalu menempatkan prinsip : kerja keras dan berusaha dengan keras , jika gagal datang ke pemerintah, jika pemerintah tidak mampu bekerjasamalah dalam koperasi dan dengan koperasi lain (CAA). Semangat ini mungkin masih ditanamkan kembali dan ketergantungan dapat dihindari apabila ada “institusi perantara” yang merupakan representasi kepentingan koperasi dan pemerintah serta stakeholder lainnya. Pendekatan penguatannya harus lugas pada pendekatan bisnis untuk membantu bisnis koperasi berkembang. Dari segi pendekatan hal ini berarti memadukan antara pendekatan supply driven dengan demand driven dalam pemberian dukungan perkuatan kepada koperasi.

Sumber: www.smecda.com/deputi7/file.../Koperasi_Indo_Gerakannya.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012

Koperasi dan Korporasi Petani: Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis Berdaya saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan

Review 2 Analisis dan Penutup
Koperasi dan Korporasi Petani: 
Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis 
Berdaya saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan

INSTITUTIONAL BUILDING: UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa mendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnyaJika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
  • Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan produktif lainnya
  • Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan dan pengelolaan sumberdaya yang effisien
  • Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services) sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga sosial (social capital) dari bawah
  • Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalam

Menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan lingkungan. Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. 

Manfaat dari program-program pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah serta bunga modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadap distribusi pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain pihak, pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi asset masih merupakan isu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai suatu upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang dikembangkan seperti pengembangan sistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai "dualisme". Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandai dengan pengangguran, produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi gambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yang rendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. 

Rendahnya produktifitas merupakan ciri khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelola industri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah. Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petani perdesaan dengan pekerja industri perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, pertanian dan bukan pertanian. Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya pencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya. 

Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya justru menjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan dan mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal, dumping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani. Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian dan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti esensi dari proses pembangunan pertanian dan perdesaan adalah transformasi struktural masyarakat perdesaan dari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional dan global.

Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang berorientasi ekonomi kerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasanketerbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.

Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke depan, seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanya the same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair, transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya  kelembagaan tersebut mampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS

        Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar).

    Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampau kuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandang koperasi sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat. Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian. 

         Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula. Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan “ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan. 

     Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan agribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain. 

    Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasi dalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi.

    Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social capital) yang harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis. Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: 

Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni seperti kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut? 

Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksi agribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat, pemerintah/principal dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric power yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan petani.

    Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian.

  Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.

PENUTUP

    Tulisan sederhana ini berusaha memperoleh “kejernihan” pemahaman pembangunan pertanian berwawasan agribisnis di Indonesia. Pelaku ekonomi pertanian sekaligus investor utamanya adalah berjuta petani sebagai “pengusaha” agribisnis berskala mikro dan kecil yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, penopang ekonomi perdesaan dan sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Sosok pertanian tersebut, - walaupun sangat potensial--, akan tetapi dihadapkan pada berbagai “tekanan” baik secara  Internaldomestik maupun eksternal-globalisasi. Kedua realitas “tekanan” tersebut secara konsisten telah, sedang, dan akan terus meningkatkan “kegelisahan dan keprihatinan” petani dan pertanian kita. Manakala tanpa upaya-upaya mendasar, pertanian dan agribisnis hanyalah akan menjadi “mimpi buruk” bagi bangsa ini.

Salah satu upaya mendasar untuk menghindari “mimpi buruk” pembangunan pertanian dan agribisnis yang dikemukakan adalah mengembangkan upaya kelembagaan (institutional building). Institusi atau kelembagaan adalah suatu rules yang merupakan produk dari nilai, yang diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya (culture). Hal itu merupakan prasyarat keharusan (necessary condition) untuk menjadi “kunci pembuka” pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan korporasi (masyarakat) agribisnis dipandang sebagai bangun kelembagaan yang mampu berperan dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang di-visi-kan. Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana. Karakteristik, keunikan dan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan agribisnis di satu pihak, serta dinamika permintaan dan konsumsi yang sangat tinggi memerlukan manajemen pengelolaan yang terintegrasi sebagai suatu syarat kecukupan (sufficient condition). Diyakini, kunci utama untuk dapat memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat adalah terletak pada kualitas sumberdaya manusia. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagaimana membangun SDM yang ada (dengan latar belakang dan kualitas yang berbeda-beda) menjadi suatu team work yang harmonis. Banyak persoalan inefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan SDM yang terlibat di dalamnya.

Sumber : www.smecda.com/.../01_08_KOPERASI_DAN_AGRIBISNIS.pdf

YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012