Review 2 Metode Analisis dan Penutup
Peringkat Propinsi Dalam Membangun Ekonomi
Koperasi Analisi Berdasarkan Indeks Peer
II. Metode Analisis
Berbagai metode
dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di
atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih sering dikumandangkan berdasarkan
analisis historikal yang normatif. Tulisan ini mencoba menampilkan
analisis yang lebih positif dengan menggunakan fakta empirik menyangkut posisi ekonomi
koperasi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi itu berada.
Pendekatan relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk mengetahui performa
propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks, berdasarkan
Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) dari sisi regional atau propinsi atau
kawasan Indonesia (selanjutnya disebut regional) atau Regional Cooperative Economic
Performance Index (RCEPI). IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana performa relatif
ekonomi koperasi secara regional (cooperative economic size by region) atau ukuran
ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional secara nasional
(economic size relative by region). Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan antara rasio
nilai ekonomi atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang dinyatakan sebagai ukuran
ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut dengan nasional. Pendekatan
analisis berdasarkan IPEKR atau indeks RCEP tersebut dirumuskan dalam beberapa
persamaan berikut ini. Ukuran ekonomi koperasi regional/propinsi (UEKR) atau
disebut juga sebagai regional cooperative economic size (RCES) adalah
sebagai berikut:
VUKN
VUKR
UEKR =
...............................................................................
(1)
Dimana VUKR =
volume usaha koperasi regional/propinsi (Rp triliun) dan VUKN = volume usaha
koperasi nasional (Rp triliun). Volume usaha koperasi dipakai sebagai indikator
ekonomi, karena secara empirik volume usaha mencerminkan kemampuan koperasi dalam
bisnis dan ekonomi. UEKR selalu di antara nol dan satu (0<UEKR<1). Semakin tinggi
UEKR semakin besar ukuran regional dalam pengembangan ekonomi koperasi relatif
terhadap nasional. Ukuran ekonomi
regional/propinsi (UER) atau disebut juga sebagai regional economic size
(RES) dirumuskan sebagai berikut:
PDB
PDRB
UER = ...............................................................................
(1)
Dimana PDRB =
produk domestik regional bruto dari propinsi dan PDB = produk domestik bruto
Indonesia. PDRB merupakan indikator ekonomi utama regional dan PDB sebagai
indikator utama perekonomian nasional. Nilai UER adalah di antara nol dan satu (0<UER<1).
Semakin tinggi UER maka semakin besar pula kemampuan atau kapasitas ekonomi propinsi
relatif terhadap nasional. IPEKR atau RCEPI
dapat dirumuskan sebagai rasio antara UEKR dengan UER, yakni:
UER
UEKR
IPEKR =
…………………………………………………… (3)
Dimana UEKR =
ukuran ekonomi koperasi regional dan UER = ukuran ekonomi regional. IPEKR berada
antara nol dan tak terhingga (IPEKR0). Bila IPEK<1 maka performa atau rating regional
rendah, dengan kata lain pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan
ekonomi regionalnya. Bila IPEK>1 maka performa atau rating regional tinggi, atau dengan kata
lain pengembangan ekonomi koperasi di atas kemampuan ekonomi regionalnya.
Berdasarkan IPEKR, pemeringkatan daerah dapat dilakukan. Oleh karena itu, peringkat daerah
dalam ekonomi koperasi tergantung pada besaran IPEKR tersebut. Metode ini cukup
baik untuk menjelaskan rating dan peringkat regional/propinsi dalam
pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan telah digunakan oleh para
analis atau peneliti
ekonomi untuk melihat posisi berbagai aspek, antara lain komoditas dalam ekspor, negara
dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui
dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar
negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development)
menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World
Investment Report (WIR) setiap tahunnya. Demikian juga penulis sendiri telah
menggunakannya dalam memeringkat sektor perekonomian dan regional dalam menarik
investasi PMDN dan PMA. Pada tahun 2007, Kementerian Negara KUKM melalui Deputi
Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya untuk
memeringkat propinsi dalam pembangunan KUKM1. Dalam pembangunan wilayah, metode ini
biasanya digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan lokasi perencanaan
wilayah. Analisis ini
menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik
(BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masingmasing lembaga. Data
PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan
propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik
propinsi maupun nasional pada tahun 2006. Seyogianya, performa tahun 2007 lebih
mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk
tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB. Sehingga penulis
melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi,
pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek. Dalam
analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan
ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau Sumatera,
Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).
III. Hasil Analisis
3.1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana
terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi
dalam performa ekonomi koperasi. Tabel 1 menampilkan hasil perhitungan IPEK
sesuai dengan persamaan (3). Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat
beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terendah 0.1224. Rating
5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61
kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya. Dengan kata
lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan
5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi
regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah
kapasitas ekonomi regionalnya.
Pada Tabel 1
tersebut terlihat pula, yang mampu mencapai IPEK>1 hanya 12 propinsi atau
36.4% dari seluruh propinsi, selebihnya 64.6% di bawah nilai satu (IPEK<1).
Dengan kata lain hanya sebagian kecil dari propinsi yang mampu menunjukkan
performa baik dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini sebenarnya
memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala daerah selalu menempatkan
koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting. Data tersebut di atas
juga mengindikasikan bahwa antara ucapan dan tertulis yang menyatakan komit
terhadap pembangunan koperasi sangat jauh dari kenyataan. Berarti, rencana
strategis kepala daerah yang memuat pembangunan koperasi sebagai salah
satu target utama, cenderung hanya retorika politik agar memperoleh simpati rakyat
ketika kampanye pemilihan kepala daerah. Hasil dari
analisis ini memperlihatkan suatu hal yang tidak disangka sebelumnya
secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan
terrendah Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai oleh 12
propinsi, yakni Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI
Yogyakarta (1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan
(1.2468), Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan
Sulawesi Tenggara (10239). Dengan rating tersebut, maka secara berurutan
peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai dengan rating di
atas. Hal yang mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini diketahui selalu
menunjukkan jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak selamanya mampu
menduduki posisi tertinggi dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal
ini terlihat misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan
Timur, dan Riau. Bahkan posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21
Performa
pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga menunjukkan pola
yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan (KBI dan KTI)
sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating tertinggi
mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh pulau yang mencapai
rating IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1). Peringkat berdasarkan
pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating di atas satu adalah
secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa (3), Sulawesi
(4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5), Kalimantan (6), dan Papua (7).
Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada peringkat-3 dan peringkat-5
memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan aksesibilitas Pulau Jawa dan
Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya tertinggi. Kalau dilihat
lebih lanjut, perbedaan performa kawasan antara KBI dan KTI
juga terlihat.
Rating KBI di atas nilai satu dan KTI di bawah nilai satu. Namun perbedaan
ratingnya tidak terlalu jauh. KBI masih menjadi unggulan dalam pengembangan ekonomi
koperasi. Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi geopolitik dan
geografi KBI yang jauh lebih baik daripada KTI. Pencapaian ekonomi koperasi
di KBI hanya 16.5% di atas kemampuan ekonomi regionalnya. Sementara di KTI
ada kelebihan kapasitas sebesar 41.39% dalam upaya mengembangkan
ekonomi koperasi.
3.2. Ekonomi Regional
Sejauh mana
kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional
merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang
ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan
untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia
mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut,
kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai
15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9- 15.2% atau
rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah
adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali
D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan
terbesar secara
nasional.
Pada tahun 2006,
PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun. Kontribusi
ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan
terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi ekonomi regional
rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di atas 3.03% telah
menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1 terlihat DKI
Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan
UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi
yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7
(tujuh), yakni secara berturutan. DKI Yakarta (1),
Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau
(6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok
propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi
Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah.
Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan kapasitas
kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap
nasional. Memperhatikan
kapasitas regional pada grafik 1, semestinya propinsi yang memiliki
kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa ekonomi koperasi
yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta 0.1502, Jatim
0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi koperasi
(cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya akan mencapai
minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat
tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya
ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan
sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan
bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya. Sebaliknya,
kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya maka performa
ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi tidak mampu
menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan koperasi sebagai
wujud ekonomi rakyat.
Dari
tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang juga
terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera
mendominasi perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas nasional
merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Pada Grafik 2 terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai lebih dari separuh nasional, yakni 55.6%,
menyusul wilayah Pulau
Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah
di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku. Hal
ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh
lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI juga
sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya
kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas
yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya, kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di
KBI jauh lebih tinggi daripada lainnya.
Dari
gambaran mengenai kapasitas di atas, memunculkan pertanyaan menyangkut
kemampuan mengembangkan ekonomi atau bisnis koperasi secara regional.
Apakah harapan semestinya performa ekonomi koperasi yang jauh lebih baik
di propinsi yang tinggi kapasitas ekonomi regionalnya, propinsi di pulau-pulau yang
tinggi kapasitas ekonominya, dan propinsi di KBI yang tinggi kapasitas ekonominya terjadi dengan sendirinya? Hal
itu akan terlihat ketika ukuran ekonomi koperasi regional-nya dapat ditampilkan, sebagaimana
uraian pada bab berikut.
3.3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran
mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi koperasi
terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini menunjukkan
sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi
secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam ekonomi
koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi koperasi
menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah sebesar
0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302.
Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori
tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau
18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara
berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI
Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan
terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya merupakan
kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut
sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Tinjauan
dari sisi pulau, pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa mendominasi
perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar. Pada Grafik 4 terlihat
ukuran ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530. Nilai UEKR rata-rata
adalah 0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh UEKR di atas 0.1429
termasuk kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi, sedangkan
Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR sebesar 0.1326. Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR
mencapai 0.8959 atau
mendominasi sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya dibagi oleh
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan
kawasan, KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR
mencapai 0.9075, artinya sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional merupakan
sumbangan koperasi di KBI. Performa ekonomi koperasi tersebut di atas
mencerminkan ketimpangan antar propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas
ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan
UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat
propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada
Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki
kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya
Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan
Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi
yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi
regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik. Mengapa
bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi
tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya, pengembangan
ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang dimiliki.
Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan
UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02%
hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang
hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan
ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas
ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya
4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas
ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38%
yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6%
tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35%
tapi hanya Pulau
Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh wilayah
di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku.Hal
ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh
lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI juga
sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya
kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas
yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar mampu
menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
IV. Penutup
Dari
uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi
Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan
ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi
yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang
tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan
ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan
bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak
mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi
adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai
sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang
performanya rendah.
Ditinjau
dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan
terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas
ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar,
informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih
banyak.
Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional,
dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi
pula. Untuk
itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas
ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi
rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal
ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera
untuk mengambil
keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi
dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan persaingan
antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar
propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi.
Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara
nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
Sumber : www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_5.../JURNAL_CETAK.pdf
YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar