Review 1 Pendahuluan dan Abstraksi
Efisiensi Unit-Unit Kegiatan Ekonomi Industri Gula
Yang Menggunakan Proses Karbonatasi di Indonesia
Victor Siagian
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
ABSTRAK
Highly government intervention caused
crucial Indonesian sugar market structure. This condition stimulated low
productivity, high cost economy, increasing in sugar price and imported sugar. Increased sugar
import either legal or illegal must be concerned because international sugar market is
thin market and also sugar industry is capital intensive, more over in the beginning of trade
liberalization. One of the methods for eliminating imported sugar namely to identified sugar
industry efficiency especially carbonatization sugar industry using Data Envelopment Analysis
(DEA).
DEA calculates relative
efficiency to peer unit namely sugar factories in which have highly efficiency score. There
are three sugar factories, using carbonatization process, have lowly efficiency score and need
input multiplier or reallocation in using input from peer unit.
Keywords :
Government Intervention, Sugar Market Structure, Legal and Illegal
Import, Thin
Market, DEA, Relative Efficiency, Peer Unit.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Motivasi studi ini berkaitan
dengan maraknya isu mengenai pro-kontra impor produk pertanian khususnya gula. Isu
tersebut merebak karena dihadapkan kepada kekuatan pihak produsen gula domestik, khususnya
petani tebu, akan terancam kelangsungan produksi gula dalam negeri. Kekuatan produsen
gula domestik dapat dipahami karena harga pasar gula impor lebih rendah dari harga
gula produksi domestik.
Produksi gula nasional semakin
menurun selama beberapa tahun terakhir. Produksi gula nasional pernah meningkat
relatif cepat dalam periode 1980-an, akan tetapi lambat sekali dalam periode awal 1990-an, dan
setelah tahun 1994 produksi gula nasional terus menurun. Peningkatan produksi gula adalah
disebabkan oleh perluasan areal tanaman tebu, bukan disebabkan oleh peningkatan
produktivitas (Sekretariat Dewan Gula, 2001). Menurut Statistik Impor, Badan
Pusat Statistik 2000, pasokan gula dunia akan semakin terbatas pada sejumlah
kecil negara. Kondisi ini dapat menjadi rawan bila ketergantungan impor gula
Indonesia dalam jumlah besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat menstimulir untuk
meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan produktivitas dan efisiensi
dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri gula nasional dengan prioritas
utama pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri.
Para petani tebu hanya memiliki
dua pilihan, jika krisis industri gula tidak tertangani.Petani akan kebun tebu
dan beralih ke tanaman lain atau mereka akan membiarkan tanaman tebu yang ada
tanpa perawatan, sehingga hasilnya minim. Apabila langkah ini dilakukan, maka
pasokan tebu ke pabrik gula akan anjlok yang mengakibatkan pabrik gula dapat ditutup. Hal
ini terjadi karena masuknya gula impor sehingga gula dalam negeri tidak dapat bersaing
(Harian Kompas, 10 September 2002). Gula impor legal dan ilegal yang
masuk ke pasar telah menekan harga gula produksi dalam negeri. Situasi demikian
akan membawa industri gula pada situasi krisis karena pabrik gula mengalami kesulitan pasokan
tebu. Sebanyak 44 pabrik gula di Indonesia terancam bangkrut. Pemicu rendahnya suplai
bahan baku ini karena petani tertarik menanam tebu akibat merosotnya nilai ekonomisnya
(Harian Kompas, 14 September 2002). Peluang masuknya gula impor
karena produksi gula nasional mencapai 3,2 sampai 3,5 juta ton setahun. Selain itu
tarif bea masuk gula putih (White Sugar) Rp. 700,- per kilogram dan gula mentah (Raw
Sugar) Rp. 550,- per kilogram yang cukup tinggi sehingga mendorong masuknya gula impor
ilegal. Kondisi ini mengakibatkan daya saing gula dalam negeri menurun.
Tingginya intervensi pemerintah
menyebabkan berbagai masalah dalam struktur pasar gula Indonesia yang pada akhirnya
mendorong rendahnya peningkatan produktivitas, tingginya harga gula di tingkat
konsumen serta meningkatnya impor gula. Meningkatnya impor gula patut diwaspadai
mengingat pasar internasional gula termasuk pasar yang tipis (Thin Market), sementara industri
gula nasional merupakan industri yang padat karya, apalagi dengan semakin meningkatnya arus
liberalisasi perdagangan. Salah satu upaya untuk menghadapi ancaman gula impor
adalah mengkaji industri gula dalam negeri, khususnya pabrik-pabrik gula yang
menggunakan proses karbonatasi. Akhir-akhir ini, sejumlah besar
pabrik gula (PG) di Jawa menghadapi kesulitan dalam penyediaan bahan baku tebu, hal
ini dilihat dari menurunnya Hari Giling serta meningkatnya Jam Berhenti Giling yang
disebabkan oleh kekurangan bahan baku. Kondisi PG yang telah tua dan kesulitan tebang dan
angkut telah mempengaruhi rendemen dan kualitas tebu, sehingga biaya produksi gula
lebih mahal (Sawit, 1998; Prabowo, 1996 dan Sekretariat Dewan Gula, 1997). Tampaknya
program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diimplementasikan selama ini
telah mempersulit perkembangan industri gula nasional yang efisien.
Kegagalan peningkatan
produksi gula di satu pihak, dan meningkatnya permintaan gula di lain pihak, telah
mendorong pemerintah untuk meningkatkan impor gula pasir. Tebu rakyat nantinya diperkirakan
akan berkembang pada wilayah yang secara tradisional telah mengenalnya
seperti di Pati dan Malang Selatan. (Soentoro et.al. 1999). Rosengrant et.al (1987)
mengemukakan bahwa industri gula Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan tanpa
penjatahan areal, petani akan beralih kepada komoditas lain. Peningkatan efisiensi perlu terus
diupayakan untuk memantapkan daya saing komoditas gula. Pengembangan industri gula untuk
tujuan substitusi impor dan promosi ekspor tidak memiliki daya saing (Rosegrant
et.al, 1987). Hasil studi PSE dan P3GI (1996) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan
struktur pertanaman dan katagori tanaman tebu yang berlangsung sejak awal tahun
delapan puluhan. Dalam periode 1980-1990 proporsi areal tebu lahan kering meningkat dengan
laju 11,9 persen/tahun, yaitu dari 20,9 persen menjadi 48,9 persen. Kategori tanaman tebu
kepras (ratoon) meningkat dari 31,3 persen menjadi 62,6 persen atau meningkat dengan laju
7,3 persen/tahun. Dengan demikian peranan tebu kepras dan tebu lahan kering menjadi
semakin penting dalam penentuan keunggulan komparatif industri gula secara keseluruhan. Selain faktor produktivitas,
pengembangan tebu di lahan kering yang semakin meluas memunculkan masalah baru seperti
meningkatnya biaya pengangkutan tebu ke pabrik, melemahnya lingkup kendali (span
of control) dan skala ekonomi (PSE dan P3GI, 1996). Kesemuanya ini akan memperlemah
keunggulan komparatif pengembangan tebu di lahan tegalan yang akhirnya akan
memberikan dampak secara agregat.
Dengan demikian impor gula
menguras devisa negara cukup besar, dan diperkirakan akan semakin memberatkan
perekonomian nasional dalam kondisi rupiah yang mengalami depresiasi yang cukup tinggi
sekarang ini. Menurut Statistik Impor, Badan Pusat Statistik, pasokan gula dunia akan semakin
terbatas pada sejumlah kecil negara. Kondisi ini bisa menjadi rawan bila ketergantungan
impor gula Indonesia dalam jumlah yang besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat
menstimulir untuk meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan
produktivitas dan efisiensi dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri
gula nasional dengan prioritas utama pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
Hasil giling tahun 2002 disajikan pada Tabel 1.
Menurut P3GI (1997), salah satu
langkah yang perlu ditempuh dalam pembangunan industri gula adalah melalui
peningkatan efisiensi pabrik gula. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi
pabrik gula adalah : (1) pabrik yang sudah tua, (2) hari giling yang belum optimal, (3)
kapasitas giling yang kurang dari 2.000 ton tebu per hari dan (4) jam berhenti giling yang
tinggi. Menurut Sekretariat Dewan Gula
Indonesia (2001), kendala utama yang dihadapi pabrik gula saat ini adalah : (1)
rendahnya kualitas bahan baku, (2) rendahnya kapasitas sebagian pabrik serta rendahnya
efisiensi pabrik (tingginya jam berhenti dan (3) tingginya biaya produksi.
Penelitian tentang efisiensi
teknis dapat dibaca pada Simatupang dan Mewa (1987) dan Dewa (1996), kedua penelitian
tersebut mempergunakan fungsi produksi frontier. Ini merupakan suatu kemajuan
dibandingkan dengan penelitian lainnya yang mempergunakan fungsi rata-rata. Berbagai
efisiensi alokatif dapat dibaca pada Pakpahan (1982) dan Sugianto (1985). Contoh penggunaan fungsi
produksi dapat dilihat pada Sawit (1985). Fungsi produksi yang banyak dipergunakan adalah
fungsi produksi Cobb-douglass. Fungsi ini terkenal kesederhanaannya. Penentuan skala
ekonomi dengan fungsi biaya dapat dibaca pada Christiansen dan Green (1976) dan
Binswanger (1974). Simatupang (1988) mengemuka-kan
akhir-akhir ini analisa yang banyak dipakai dalam penelitian ekonomi produksi
adalah fungsi keuntungan. Dengan alat analisa ini hampirsemua parameter yang berkaitan
langsung dengan produksi dapat diperoleh.
Jenis fungsi keuntungan yang
banyak dipakai dalam penelitian adalah fungsi Cobbgotglass dan translog. Fungsi keuntungan
Cobbdouglass adalah salah satu bentuk khusus dan fungsi translog (Simatupang,
1987). Karena sifatnya yang banyak batasan, fungsi keuntungan ini banyak memiliki kelemahan
(Chand and Kaul, 1986, Simatupang, 1987, Suryana, 1987). Namun fungsi keuntungan
Cobb-Douglass ini lebih mudah dalam penerapan secara empiris. Oleh karena itulah ia lebih
banyak digunakan. Penelitian tentang efisiensi
pabrik gula di India dilakukan oleh Ferrantino, M.J. dari US International Trade
Commission Office of Economics disertai Ferrier, G.D. dan Linvill, C.B. masing-masing dari
Departemen Ekonomi Universitas Arkansas pada tahun 1994. efisiensi pabrik gula yang
diteliti meliputi efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi alokatif dengan menggunakan
pendekatan nonstocastik-nonparametric production dan cost frontiers yang diestimasi
dengan metode linear programming. Menurut P3GI
(1997), terdapat lima kriteria pokok yang dapat dijadikan pedoman awal untuk
menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :
- Kesulitan memperoleh lahan.
- Pengembangan lahan tebu mengarah ke lahan kering sehingga biaya angkut tebu meningkat.
- Jumlah produksi gula kurang dari 250.000 kwintal per tahun, sehingga harga pokok per unit hasil masih mahal.
- Mutu bahan baku belum optimal sehingga biaya produksi pabrik gula tidak efisien.
- Kapasitas giling masih banyak yang dibawah 2000 ton tebu per hari.
Berdasarkan lima kriteria pokok
tersebut terdapat indikasi bahwa efisiensi pabrik gula Indonesia masih rendah khususnya
pabrik gula milik BUMN yang dapat disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien
(Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 1997). Setelah mengemukakan kriteria
pokok efisiensi pabrik gula sebagaimana diuraikan di atas, terdapat aspek-aspek yang
erat kaitannya dengan biaya produksi gula yaitu : (1) produksi gula, (2) produksi tebu, (3)
impor gula, dan (4) liberalisasi perdagangan. Sehubungan dengan itu, perlu
diketahui apakah industri gula domestik di masa mendatang masih dapat diharapkan
untuk dipertahankan eksistensinya, khususnya industri gula yang menggunakan proses
karbonatasi yaitu pabrik gula Tasik Madu, Gondang Baru, Rejoagung Baru, Sweet Indo
Lampung dan Indo Lampung Perkasa.
II. Perumusan
Masalah
Efisiensi merupakan salah satu
indikator kinerja unit kegiatan ekonomi dalam industri
gula agar dapat bersaing dengan
gula impor. Untuk maksud tersebut, masalah penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut
:
- Apakah industri gula di Indonesia, khususnya pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi, sudah efisien ?
- Alokasi input mana dalam pengelolaan pabrik gula yang sudah dan belum efisien ?
- Pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi mana yang efisien ?
III. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
- Mengukur efisiensi relatif pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbo-natasi di Indonesia.
- Mengidentifikasi alokasi input yang sudah dan belum efisien dan cara mengatasinya dalam pengelolaan pabrik gula di Indonesia.
SUMBER : isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4304233239.pdf
YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar