Review 2 Analisis dan Penutup
Koperasi dan Korporasi Petani:
Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis
Berdaya saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan
INSTITUTIONAL BUILDING: UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa
mendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang
sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian
yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi
pertanian (agribisnis) selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
petani secara signifikan. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai
tambah yang rasional sesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution) di
bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan
yang tidak hanya menyangkut on farm
bussiness saja, akan tetapi juga terkait
erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnya. Jika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis
ekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang
dihadapi petani di dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
- Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan produktif lainnya
- Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan dan pengelolaan sumberdaya yang effisien
- Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services) sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga sosial (social capital) dari bawah
- Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalam
Menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan
lingkungan. Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama
ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini
adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai
hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan
sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di
tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi.
Manfaat dari program-program
pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh pada
kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari masyarakat desa. Sebagai contoh,
program kredit dengan jaminan tanah serta bunga modal, subsidi paket teknologi produksi,
bahkan kontrol terhadap distribusi pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh
kelompok ini. Di lain pihak, pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi
asset masih merupakan isu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai suatu
upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang dikembangkan seperti
pengembangan sistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum
memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai
"dualisme". Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandai
dengan pengangguran, produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan
kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung
menjadi gambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi
pula produktifitas yang rendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang.
Rendahnya
produktifitas merupakan ciri khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar
petani dan para pengelola industri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah.
Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri perkotaan
daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas
antara petani perdesaan dengan pekerja industri perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini
merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan
dan perdesaan, pertanian dan bukan pertanian. Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama
untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di
satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat
dihindarkan terjadinya pencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor
pertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama
karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya.
Manfaat teknologipun
seringkali masih dirasakan lebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga
pada gilirannya justru menjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan
dan mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan
kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal,
dumping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat
panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme
berlebihan) pada sebagian petani. Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek
kehidupan pertanian dan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti
esensi dari proses pembangunan pertanian dan perdesaan adalah transformasi
struktural masyarakat perdesaan dari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan
berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari
struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan
sistem jasa nasional dan global.
Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya
pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering)
masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan
yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak)
diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang
berorientasi ekonomi kerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing
dalam iklim “kebersamaan” pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan
diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi
(kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan
entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value)
baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan
keterbatasanketerbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan),
peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan,
serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.
Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut
pada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau
nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke depan, seyogyanya mengandung berbagai
ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi
pendorong terciptanya the same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair,
transparent, demokratis dan adil. Kedua,
upaya kelembagaan tersebut mampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas,
efisiensi dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya
akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS
Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan
agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah
bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan
tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam
penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan
dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang
tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan
orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan
ketidakadilan sistem pasar).
Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika
sebagai akibat “terlampau kuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama,
sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan”
jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang
eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga
memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia.
Sebagian lain memandang koperasi sebagai entitas yang
perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan
koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat.
Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat
merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan
keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian.
Ada dua argumen yang
melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para
pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi
tawar yang baik, dan (b) koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang
bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab
pula. Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal
tetap masih membutuhkan “ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung,
akan tetapi dengan pengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus
ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan
program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan
orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen
usaha dan penyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan
pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi
alternatif yang dipertimbangkan.
Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala
pengembangan agribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati.
Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan
kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang
baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi
agribisnis yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki
kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan
pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian
sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini
bentuk supervised credit dapat
menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain.
Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga
perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat
beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi
optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai
dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang
akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan
kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang
memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang
sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan
agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan
koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi,
atau unit usaha koperasi dalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan
lebih lanjut secara mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang
dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan
agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi
yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi
sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun
kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi.
Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti
SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi.
Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang
berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah
esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social capital) yang
harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional building yang
akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis. Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah
menjadi wacana dan diskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan
yang lebih menonjol adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN
perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah:
Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni seperti
kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa korporasi
masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut?
Banyak argumen yang membimbing kecenderungan
rekonstruksi agribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya
produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek
petani/rakyat, pemerintah/principal
dan manajemen BUMN, (c)
lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam
penyelesaian asymetric power yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya
akan dihasilkan oleh the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan
petani.
Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah
perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi
masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari
pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300
petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC
berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi
kepemilikan saham melalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi
bahan pengkajian.
Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan
gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah
merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang
lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah
dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam
pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan
kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di
lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis,
karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti
Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah
menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.
PENUTUP
Tulisan sederhana ini berusaha memperoleh “kejernihan” pemahaman
pembangunan pertanian berwawasan agribisnis di Indonesia. Pelaku ekonomi
pertanian sekaligus investor utamanya adalah berjuta petani sebagai “pengusaha” agribisnis
berskala mikro dan kecil yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, penopang ekonomi
perdesaan dan sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Sosok
pertanian tersebut, - walaupun sangat potensial--, akan tetapi dihadapkan pada berbagai “tekanan”
baik secara Internaldomestik maupun eksternal-globalisasi. Kedua realitas “tekanan” tersebut
secara konsisten telah, sedang, dan akan terus meningkatkan “kegelisahan dan
keprihatinan” petani dan pertanian kita. Manakala tanpa upaya-upaya mendasar, pertanian
dan agribisnis hanyalah akan menjadi “mimpi buruk” bagi bangsa ini.
Salah satu upaya mendasar untuk menghindari “mimpi buruk”
pembangunan pertanian dan agribisnis yang dikemukakan adalah mengembangkan
upaya kelembagaan (institutional building). Institusi atau kelembagaan adalah suatu rules yang
merupakan produk dari nilai, yang diharapkan terus berevolusi dan menjadi
bagian dari budaya (culture). Hal itu merupakan prasyarat keharusan (necessary condition) untuk menjadi “kunci pembuka” pengembangan agribisnis yang berdaya saing,
berkerakyatan dan berkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan
korporasi (masyarakat) agribisnis dipandang sebagai bangun kelembagaan yang mampu
berperan dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang di-visi-kan. Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana.
Karakteristik, keunikan dan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan agribisnis di
satu pihak, serta dinamika permintaan dan konsumsi yang sangat tinggi memerlukan manajemen
pengelolaan yang terintegrasi sebagai suatu syarat kecukupan (sufficient condition). Diyakini, kunci utama untuk dapat memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat adalah terletak pada kualitas sumberdaya
manusia. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagaimana membangun SDM yang ada (dengan latar
belakang dan kualitas yang berbeda-beda) menjadi suatu team work yang
harmonis. Banyak persoalan inefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan
SDM yang terlibat di dalamnya.
Sumber : www.smecda.com/.../01_08_KOPERASI_DAN_AGRIBISNIS.pdf
YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar