Kamis, 02 Mei 2013

PRAKTEK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI


Review II Analisis

PRAKTEK MONOPOLI
DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh: Agus Raharjo
(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001, hal. 41-46)


Kejahatan Korporasi Dalam Proses Pembuatan Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah orde baru mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia, tetapi tidak sukses dalam mendorong kehidupan industri kecil dan mengengah karena korporasi besa berhasil dalam bidang yang digarap industri kecil dan menengah. Para konglomerat dapat dengan mudah menguasai pasar karena kejahatan yang mereka lakukan melalui lobi dan pendekatan kepada penguasan.
Jika para pejabat publik/birokrat mengetahui sebuah korporasi menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, pejabat publik harus mengambil tindakan agar tidak terjadi praktek monopoli. Apa yang terjadi ternyata tidak demikian karena pejabat publik itu dibungkan oleh para pelaku usaha dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat karena jabatannya. Pelaku usaha selalu mempunyai dana taktis untuk urusan yang satu ini. Ini menunjukkan bahwa birokrasi di pemerintahan merupakan sarang bagi seorang penyamun.
Pemerintah orde baru yang sarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme telah membawa dimensi baru dalam kehidupan birokrasi yaitu kejahatan birokrasi. Budaya korporasi yang negatif telah mencemari birokrasi (atau sebaliknya) sehingga para birokrat bertindak seperti seorang pelaku usaha yaitu mencari keuntungan dari jabatannya. Tidak ada kemuliaan yang didapat dari sebuah jabatan birokrasi jika telah tercemari budaya korporasi yang negatif dan pertimbangan moral menjadi suatu rintangan dalam melanggengkan kekuasaan.
Budaya korporasi yang negatif dalam bentuk prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan, pengendalian pasar dan sebagainya sebagai tujuan organisasi (organizational goal), ambisi pribadi dari pimpinan korporasi yang tanpa batas (anomie of success), penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang kendor, subkultur tidak bermoral yang melanda masyarakat akan menambah maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern (Steven Box 1983: 64).
Hasil kolaborasi antara korporasi dan kebijakan pemerintah melahirkan monopoli dalam berbagai usaha, seperti monopoli perdagangan tepung terigu oleh PT. Bogasari Flour Mills yang ditunjuk oleh Bulog untuk mengolah biji gandum. Penetapan harga jual tepung terigu ditentukan oleh Bulog dan Bogasari. Bogasari tidak memperoleh keuntungan maksimal sehingga ia melakukan diversifikasi usaha ke hilir yaitu mie instant yang menggunakan bahan baku tepung terigu. Kondisi ini menyebabkan PT. Indofood Sukses Makmur yang memproduksi Indomie, Sarimie dan Supermie menguasai hampir 90% pangsa pasar.
Indofood dapat menguasai pangsa pasar karena memiliki brand (maintaining the brand) yang baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Tugas utama dari maintaining the brand adalah melakukan romancing the brand sebagai positioning. Usaha sejenis tidak dapat masuk ke pasar yang dikuasai Indofood karena tidak mempunyai brand yang baik dan terpelihara. Usaha sejenis perlu melakukan economische the brand dan secara pelan-pelan membangun positioningnya sendiri. Jadi di samping faktor kemudahan yang diperoleh Indofood (berupa harga gandum yang murah), sebab lain adalah metode pemasarannya yang baik.
Selain Indofood, perusahaan yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% adalah PT. Intiboga S yang memproduksi minyak goreng Merek Bimoli (60%), PT. Aqua GM (83%), PT. Unilever (Rinso, 58,9%), PT. Asahimas (Asahi Glass, 65%), PT. Pertamina (Olie Mesran, 60,1%).

UU No. 5 Tahun 1999 dan Dampaknya Bagi Dunia Usaha

Apa yang dilakukan oleh pemerintah orde baru dan pelaku usaha benar-benar telah menggerogoti daya saing dan efisiensi ekonomi negara yang bersumber pada berbagai perundangan-undangan. Hal ini membawa Indonesia ke dalam krisis yang berkepanjangan sehingga memerlukan bantuan pihak lain untuk memulihkannya dengan menggadaikan kedaulatan negara yang selama ini diagung-agungkan.
Berdasarkan memorandum IMF tanggal 15 Januari 1998, butir 31, 40 dan 41 pemerintah harus melakukan struktural reform yang meliputi usaha deregulasi dan privatisasi (swastanisasi) ekonomi Indonesia. Sejak 1 Februari 1998 semua pengaturan pemasaran yang bersifat restriktif (restrictive marketing arrangements) baik yang formal maupun informal dihapuskan. Tidak diijinkan menentukan wilayah pemasaran ekslusif (exclusive marketing areas) atau volume produksi/pangsa pasar tertentu bagi perusahaan-perusahaan tertentu. Hasil-hasil pertanian bebas untuk diperjualbelikan, monopoli Bulog dihapus kecuali untuk beras. Pengolah tepung terigu bebas menjual dan mendistribusikan tepung terigu kepada pedagang eceran.
Dari memorandum tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi utama dibuatnya UU No. 5/1999 adalah untuk memperoleh bantuan IMF yang sangat dibutuhkan, di samping keinginan IMF untuk membuka pasar Indonesia bagi produkproduk luar negeri yang selama ini dikuasai atau dimonopoli oleh pengusaha/konglomerat Indonesia. Apa yang dikatakan dalam bagian menimbang pada undang-undang itu untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik dengan melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat hanyalah omong kosong belaka, kata-kata pemanis saja (eufemisme) agar dana IMF cepat mengucur, padahal dalam kenyataannya praktek korot dalam bisnis tersebut masih berlangsung.
Jika berpijak pada motivasi larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat yang timbul dari dalam atau hati nurani rakyat Indonesia sendiri, seharusnya undang-undang tersebut sudah lahir sekitar tahun 1980-an atau awal 1990-an ketika praktek monopoli sedang gencar-gencarnya ditentang. Dengan motivasi seperti yang ada dalam undang-undang itu apa yang bisa diharapkan dari sebuah undang-undang pesanan. Bisa saja undang-undang itu dipraktekkan, tetapi pelaku usaha tentunya tidak kalah akal, seperti misalnya PT. Indofood, bias mendirikan usaha sejenis dengan perusahaan dan merek yang berbeda. Motivasi lain adalah misi IMF dalam rangka globalisasi perdagangan yang berusaha membuka pasar Indonesia agar produk-produk asing bisa masuk dan menguasai pangsa pasar dengan harga yang lebih murah. Indonesia akan menjadi international marketing area yang tidak menguntungkan bagi dunia usaha Indonesia.
Dengan kata lain IMF hendak mematikan potensi dunia usaha Indonesia dengan pedang bantuan dana yang dikucurkan itu. Dengan keadaan krisis ekonomi yang berlarut-larut, dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan, dunia usaha Indonesia belum mampu untuk menyaingi usaha asing yang masing ke Indonesia. Apa yang akan terjadi adalah kita hanya akan mengelus dada karena membanjirnya produk asing di negeri ini.
Melihat kondisi seperti itu, apa yang dikatakan Chatamarrasjid bahwa undang-undang ini akan menjadi magna charta bagi kebebasan berusaha nampaknya berlebih-lebihan dan akan sulit terwujud. UU No. 5/1999 tidak bisa disamanak dengan Sherman Antitrust Act yang berlaku di Amerika Serikat. Kita baru bias memiliki undang-undang yang kualitasnya sama dengan Sherman Antitrust Act apabila undang-undang yang lahir bukan atas dasar pesanan sebagai persyaratan bantuan, melainkan undang-undang yang membumi atau dihasilkan dari motivasi
yang lahir dari bangsa Indonesia sendiri.


Yunita Hilda Nilawati (27211679) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar