Kamis, 02 Mei 2013

PRAKTEK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI


Review 1 Pendahuluan

PRAKTEK MONOPOLI
DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh: Agus Raharjo
(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001, hal. 41-46)

Abstraksi

Kebijakan pemerintah orde baru dalam bidang ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa gelintir pengusaha yang mempunyai ikatan romantis dengan penguasa. Monopoli pasar yang dilakukan oleh pengusaha ternyata tidak diikuti dengan tanggung jawab sosial korporasi sehinga pelaku usaha/pengusaha/konglomerat melakukan dua kejahatan sekaligus, yaitu memonopoli pasar dan kejahatan korporasi berupa tidak adanya tanggung jawab korporasi.Penghapusan monopoli perlu dilakukan dan tanggung jawab sosial korporasi terhadap produk yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa perlu digalakkan.

Kata Kunci: Monopoli, Korporasi dan Tanggung Jawab Sosial

A. Pendahuluan
Kondisi perekonomian Indonesia betul-betul terpuruk sejak krisis moneter 1997 sampai sekarang. Hampir semua bidang usaha mengalami kemacetan, booming dan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada dekade 80-an dan awal 90-an tidak mampu menghadang laju krisis yang terus berjalan bak badai di padang pasir, tak ada penghalang satupun. It's economic stupid!!! Demikian kata Bill Clinton ketika bertarung dengan George Bush ketika memperebutkan kursi kepresidenan. Katakata itu tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha yang selama ini dilakukan.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia dipicu oleh kenyataan dominannya peran negara. Paul Krugman dari MIT dalam majalah Fortune (Desember 1997) menyebutkan kondisi demikian dengan istilah statism yang hampir dimiliki oleh semua negara Asia. Kemajuan yang dicapai negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan tentu Indonesia tak lepas dari peran dominannya negara dalam mengontrol pelaku ekonomi dan alokasi sumber daya.
Ironisnya dominasi negara yang besar itu justru dianggap banyak kalangan sebagai kunci sukses keajaiban Asia. Mereka sering menyebutnya Asian model of economic development. Dua bulan sebelum handover Hongkong, Juli 1997, di Harvard Business School Alumni Conference di Hongkong, Michael Porter memperingatkan bahwa negara Asia kini sedang dalam keadaan bahaya karena adanya very strong government management. Apa yang dikatakannya ternyata benar, beberapa negara Asia mengalami krisis yang menggoncang perekonomian dan pemerintahannya.
Indonesia tidak luput dari kondisi yang demikian dan untuk mengatasinya, pemerintah mencari sumber dana lain untuk menghidupi perekonomian dan pemerintahannya. Hampir semua lembaga keuangan dunia dilobi agar bisa mengucurkan dananya ke Indonesia. International Monetary Fund (IMF), mau mengucurkan bantuannya dengan berbagai persyaratan yang salah satunya adalah diadakan atau dibuatnya undang-undang anti monopoli.
Jika dilihat dari sejarah konstitusi, kata monopoli bukanlah barang baru meskipun masih dalam taraf utopia. Praktek ketatanegaraan menunjukkan bahwa larangan monopoli yang ada dalam UUD 1945 dikebiri, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan ekonomi dan pelaku usaha harus benar-benar pandai menyiasatinya (dengan mengambil hati para penguasa untuk mendapatkan proyek yang ditenderkan oleh pemerintah).
Krisis ekonomi yang berlangsung hingga hari ini merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pelaku bisnis, birokrasi serta elit penguasa. Akibat dari krisis ini masih kita rasakan hingga kini khususnya bagi rakyat banyak terhadap perilaku atau fenomena yang merugikan dan merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku demikian dinamakan kejahatan dan lebih spesifik lagi adalah kejahatan korporasi (I.S.Susanto 1999: 2).
Tulisan ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai kejahatan korporasi dikaitkan dengan praktek monopoli yang berlangsung di Indonesia serta implikasi undang-undang anti monopoli di masa mendatang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kritis karena pendekatan ini dapat menggambarkan proses-proses yang dilakukan manusia dalam membangun masyarakat dan dunianya (I.S. Susanto 1992: 3).
  
B. Model Tindakan Pemerintah yang Mendorong Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang kompetitif. Kondisi yang kompetitif ini menjadi syarat mutlak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang efisien, termasuk proses industrialisasi yang efisien. Dalam pasar yang kompetitif, perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan mutu produk dan memperbaki pelayanan kepada konsumen. Agar berhasil dalam kondisi pasar yang demikian, perusahaanperusahaan harus berupaya mengembangkan proses produksi baru yang lebih efisien dan inovatif, meningkatkan kemampuan teknologi baik teknologi proses produksi maupun teknologi produk. Pada gilirannya hal ini akan mendorong kemajuan teknologi dan dengan sendirinya juga pertumbuhan ekonomi yang pesat (Thee Kian Wie 1999: 60-61)
Dunia usaha Indonesia tidak dibangun dalam kondisi yang demikian. Setidak-tidaknya ada dua rintangan yang menghadang langkah pelaku usaha ke arah pasar yang kompetitif, yaitu rintangan alamiah (natural barriers) dan rintangan yang diciptakan oleh kebijaksanaan pemerintah (policy-generated barriers to competition). Rintangan alamiah yang terpenting adalah skala ekonomi dan pasar keuangan dan modal yang kurang sempurna. Pasar finansial yang kurang sempurna disebabkan oleh persepsi para investor bahwa suatu perusahaan baru yang ingin memasuki suatu pasar tertentu menghadapi resiko bisnis yang lebih besar ketimbang perusahaan mapan yang sudah bergerak di pasar tersebut, sehingga perusahaan baru akan menghadapi biaya investasi yang lebih tinggi.
Rintangan utama berkaitan dengan persaingan domestik (dalam suatu negara) bukan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi, akan tetapi rintangan artifisial yang dibuat oleh kebijakan pemerintah. Rintangan artifisial ini dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan proteksi yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan mapan. Hal ini mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi bagi masyarakat berupa rente ekonomi, yaitu laba monopolis yang diperoleh perusahaan yang mapan berkat proteksi yang tinggi dan mereka nikmati terhadap ancaman persaingan dari pesaing-pesaing potensial, baik perusahaan-perusahaan baru maupun barang-barang impor yang tidak bisa memasuki pasar tersebut karena rintangan yang didirikan pemerintah (Thee Kian Wie 1999: 61-62)
Rintangan artifisial yang dibuat pemerintah orde bari diantaranya adalah didirikannya kartel-kartel, pemberian lisensi secara ekslusif, peraturan-peraturan ad hoc, rintangan perdagangan antar daerah dan pengaturan pemasaran hasil pertanian (Thee Kian Wie 1999: 63-64). Di Indonesia beberapa kartel dibuat oleh asosiasi industri dengan ijin implisit dari pemerintah, seperti kartek di industri semen, industry kayu lapis dan industri pulp dan kertas. Pemberian lisensi ekslusif ini tampak nyata dalam pemberian lisensi kepada Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) tahun 1991 yang memonopoli pembelian dan penjualan cengkeh yang mengakibatkan anjolknya harga cengkeh sampai tingkat terendah.
Pemerintah orde baru sering melakukan campur tangan ad hoc berupa perlakuan preferensial untuk kelompok-kelompok bisnis tertentu (politically wellconnected groups) berupa partisispasi modal ekuiti (saham) dalam perusahaanperusahaan besar milik golongan pengusaha yang mempunyai hubungan tertentu dengan penguasa. Kebijakan yang menghalangi perdagangan antara daerah mengurangi efisiensi nasional karena pasar menjadi terpecah-pecah. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang non kompetitif sehingga merugikan petani karena menurunkan harga jual hasil pertanian.
Kemajuan teknologi, perlindungan yang berlebihan, penciptaan larangan masuk (entry barrier), keringanan pajak dan subsidi serta merger di antara usaha-usah sejenis menyebabkan konsentrasi industri yang melahirkan praktek monopoli (Nurimansyah Hasibuan, 1995). Kebijakan yang diambi pemerintah itu betul-betul menjadikan praktek larangan monopoli dan persaingan usaha menjadi tidak berarti. Dalil yang dikemukakan bahwa monopoli (ingat pasal 33 UUD 1945) dilakukan untuk kepentingan rakyat adalah bohong besar karena ternyata yang diuntungkan adalah penguasa dan kroni-kroninya.


YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar