Review II Analisis
PRAKTEK
MONOPOLI
DAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh:
Agus Raharjo
(Dimuat
di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001,
hal. 41-46)
Kejahatan
Korporasi Dalam Proses Pembuatan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah orde baru mengutamakan
pertumbuhan ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan
konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia, tetapi tidak
sukses dalam mendorong kehidupan industri kecil dan mengengah karena korporasi
besa berhasil dalam bidang yang digarap industri kecil dan menengah. Para
konglomerat dapat dengan mudah menguasai pasar karena kejahatan yang mereka
lakukan melalui lobi dan pendekatan kepada penguasan.
Jika para pejabat publik/birokrat mengetahui sebuah
korporasi menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, pejabat publik harus mengambil
tindakan agar tidak terjadi praktek monopoli. Apa yang terjadi ternyata tidak
demikian karena pejabat publik itu dibungkan oleh para pelaku usaha dengan
berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat karena jabatannya. Pelaku usaha
selalu mempunyai dana taktis untuk urusan yang satu ini. Ini menunjukkan
bahwa birokrasi di pemerintahan merupakan sarang bagi seorang penyamun.
Pemerintah orde baru yang sarat dengan kolusi,
korupsi dan nepotisme telah membawa dimensi baru dalam kehidupan birokrasi
yaitu kejahatan birokrasi. Budaya korporasi yang negatif telah mencemari
birokrasi (atau sebaliknya) sehingga para birokrat bertindak seperti seorang
pelaku usaha yaitu mencari keuntungan dari jabatannya. Tidak ada kemuliaan yang
didapat dari sebuah jabatan birokrasi jika telah tercemari budaya korporasi
yang negatif dan pertimbangan moral menjadi suatu rintangan dalam melanggengkan
kekuasaan.
Budaya korporasi yang negatif dalam bentuk prioritas
keuntungan dalam bentuk pertumbuhan, pengendalian pasar dan sebagainya sebagai
tujuan organisasi (organizational goal), ambisi pribadi dari pimpinan
korporasi yang tanpa batas (anomie of success), penegakan hukum yang
lemah, pengawasan yang kendor, subkultur tidak bermoral yang melanda masyarakat
akan menambah maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern (Steven Box
1983: 64).
Hasil kolaborasi antara korporasi dan kebijakan
pemerintah melahirkan monopoli dalam berbagai usaha, seperti monopoli
perdagangan tepung terigu oleh PT. Bogasari Flour Mills yang ditunjuk oleh
Bulog untuk mengolah biji gandum. Penetapan harga jual tepung terigu ditentukan
oleh Bulog dan Bogasari. Bogasari tidak memperoleh keuntungan maksimal sehingga
ia melakukan diversifikasi usaha ke hilir yaitu mie instant yang menggunakan
bahan baku tepung terigu. Kondisi ini menyebabkan PT. Indofood Sukses Makmur
yang memproduksi Indomie, Sarimie dan Supermie menguasai hampir 90% pangsa
pasar.
Indofood dapat menguasai pangsa pasar karena
memiliki brand (maintaining the brand) yang baik dibandingkan
dengan perusahaan lain yang sejenis. Tugas utama dari maintaining the
brand adalah melakukan romancing the brand sebagai positioning.
Usaha sejenis tidak dapat masuk ke pasar yang dikuasai Indofood karena tidak
mempunyai brand yang baik dan terpelihara. Usaha sejenis perlu melakukan
economische the brand dan secara pelan-pelan membangun positioningnya
sendiri. Jadi di samping faktor kemudahan yang diperoleh Indofood
(berupa harga gandum yang murah), sebab lain adalah metode pemasarannya
yang baik.
Selain Indofood, perusahaan yang menguasai pangsa
pasar lebih dari 50% adalah PT. Intiboga S yang memproduksi minyak goreng Merek
Bimoli (60%), PT. Aqua GM (83%), PT. Unilever (Rinso, 58,9%), PT. Asahimas
(Asahi Glass, 65%), PT. Pertamina (Olie Mesran, 60,1%).
UU No. 5
Tahun 1999 dan Dampaknya Bagi Dunia Usaha
Apa yang dilakukan oleh pemerintah orde baru dan
pelaku usaha benar-benar telah menggerogoti daya saing dan efisiensi ekonomi
negara yang bersumber pada berbagai perundangan-undangan. Hal ini membawa
Indonesia ke dalam krisis yang berkepanjangan sehingga memerlukan bantuan pihak
lain untuk memulihkannya dengan menggadaikan kedaulatan negara yang selama ini
diagung-agungkan.
Berdasarkan memorandum IMF tanggal 15 Januari 1998,
butir 31, 40 dan 41 pemerintah harus melakukan struktural reform yang meliputi
usaha deregulasi dan privatisasi (swastanisasi) ekonomi Indonesia. Sejak 1
Februari 1998 semua pengaturan pemasaran yang bersifat restriktif (restrictive
marketing arrangements) baik yang formal maupun informal dihapuskan. Tidak
diijinkan menentukan wilayah pemasaran ekslusif (exclusive marketing areas)
atau volume produksi/pangsa pasar tertentu bagi perusahaan-perusahaan tertentu.
Hasil-hasil pertanian bebas untuk diperjualbelikan, monopoli Bulog dihapus
kecuali untuk beras. Pengolah tepung terigu bebas menjual dan mendistribusikan
tepung terigu kepada pedagang eceran.
Dari memorandum tersebut dapat disimpulkan bahwa
motivasi utama dibuatnya UU No. 5/1999 adalah untuk memperoleh bantuan IMF yang
sangat dibutuhkan, di samping keinginan IMF untuk membuka pasar Indonesia bagi
produkproduk luar negeri yang selama ini dikuasai atau dimonopoli oleh pengusaha/konglomerat
Indonesia. Apa yang dikatakan dalam bagian menimbang pada undang-undang itu
untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik dengan melarang praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat hanyalah omong kosong belaka, kata-kata
pemanis saja (eufemisme) agar dana IMF cepat mengucur, padahal dalam
kenyataannya praktek korot dalam bisnis tersebut masih berlangsung.
Jika berpijak pada motivasi larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha
tidak
sehat yang timbul dari dalam atau hati nurani rakyat Indonesia sendiri, seharusnya
undang-undang tersebut sudah lahir sekitar tahun 1980-an atau awal 1990-an
ketika praktek monopoli sedang gencar-gencarnya ditentang. Dengan motivasi
seperti yang ada dalam undang-undang itu apa yang bisa diharapkan dari sebuah
undang-undang pesanan. Bisa saja undang-undang itu dipraktekkan, tetapi pelaku
usaha tentunya tidak kalah akal, seperti misalnya PT. Indofood, bias mendirikan
usaha sejenis dengan perusahaan dan merek yang berbeda. Motivasi lain adalah
misi IMF dalam rangka globalisasi perdagangan yang berusaha membuka pasar Indonesia
agar produk-produk asing bisa masuk dan menguasai pangsa pasar dengan harga
yang lebih murah. Indonesia akan menjadi international marketing area yang
tidak menguntungkan bagi dunia usaha Indonesia.
Dengan kata lain IMF hendak mematikan potensi dunia
usaha Indonesia dengan pedang bantuan dana yang dikucurkan itu. Dengan keadaan
krisis ekonomi yang berlarut-larut, dalam jangka waktu lima sampai sepuluh
tahun ke depan, dunia usaha Indonesia belum mampu untuk menyaingi usaha asing
yang masing ke Indonesia. Apa yang akan terjadi adalah kita hanya akan mengelus
dada karena membanjirnya produk asing di negeri ini.
Melihat kondisi seperti itu, apa yang dikatakan Chatamarrasjid
bahwa undang-undang ini akan menjadi magna charta bagi kebebasan berusaha nampaknya
berlebih-lebihan dan akan sulit terwujud. UU No. 5/1999 tidak bisa disamanak dengan
Sherman Antitrust Act yang berlaku di Amerika Serikat. Kita baru bias memiliki
undang-undang yang kualitasnya sama dengan Sherman Antitrust Act apabila
undang-undang yang lahir bukan atas dasar pesanan sebagai persyaratan bantuan,
melainkan undang-undang yang membumi atau dihasilkan dari motivasi
yang
lahir dari bangsa Indonesia sendiri.
Yunita Hilda Nilawati (27211679) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar