Review 1 Pendahuluan
PRAKTEK
MONOPOLI
DAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI
Oleh:
Agus Raharjo
(Dimuat
di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun
2001,
hal. 41-46)
Abstraksi
Kebijakan
pemerintah orde baru dalam bidang ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi
raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia.
Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa gelintir pengusaha yang mempunyai
ikatan romantis dengan penguasa. Monopoli pasar yang dilakukan oleh pengusaha
ternyata tidak diikuti dengan tanggung jawab sosial korporasi sehinga pelaku
usaha/pengusaha/konglomerat melakukan dua kejahatan sekaligus, yaitu memonopoli
pasar dan kejahatan korporasi berupa tidak adanya tanggung jawab
korporasi.Penghapusan monopoli perlu dilakukan dan tanggung jawab sosial korporasi
terhadap produk yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa perlu digalakkan.
Kata Kunci:
Monopoli, Korporasi dan Tanggung Jawab Sosial
A. Pendahuluan
Kondisi perekonomian Indonesia betul-betul terpuruk
sejak krisis moneter 1997 sampai sekarang. Hampir semua bidang usaha mengalami
kemacetan, booming dan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada dekade 80-an dan
awal 90-an tidak mampu menghadang laju krisis yang terus berjalan bak badai di
padang pasir, tak ada penghalang satupun. It's economic stupid!!! Demikian
kata Bill Clinton ketika bertarung dengan George Bush ketika
memperebutkan kursi kepresidenan. Katakata itu tepat untuk menggambarkan apa
yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha yang selama ini dilakukan.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia dipicu oleh
kenyataan dominannya peran negara. Paul Krugman dari MIT dalam majalah Fortune
(Desember 1997) menyebutkan kondisi demikian dengan istilah statism yang
hampir dimiliki oleh semua negara Asia. Kemajuan yang dicapai negara-negara
Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan tentu Indonesia
tak lepas dari peran dominannya negara dalam mengontrol pelaku ekonomi dan alokasi
sumber daya.
Ironisnya dominasi negara yang besar itu justru
dianggap banyak kalangan sebagai kunci sukses keajaiban Asia. Mereka sering
menyebutnya Asian model of economic development. Dua bulan
sebelum handover Hongkong, Juli 1997, di Harvard Business School Alumni
Conference di Hongkong, Michael Porter memperingatkan bahwa negara Asia
kini sedang dalam keadaan bahaya karena adanya very strong government
management. Apa yang dikatakannya ternyata benar, beberapa negara Asia
mengalami krisis yang menggoncang perekonomian dan pemerintahannya.
Indonesia tidak luput dari kondisi yang demikian dan
untuk mengatasinya, pemerintah mencari sumber dana lain untuk menghidupi
perekonomian dan pemerintahannya. Hampir semua lembaga keuangan dunia dilobi
agar bisa mengucurkan dananya ke Indonesia. International Monetary Fund (IMF),
mau mengucurkan bantuannya dengan berbagai persyaratan yang salah satunya
adalah diadakan atau dibuatnya undang-undang anti monopoli.
Jika dilihat dari sejarah konstitusi, kata monopoli
bukanlah barang baru meskipun masih dalam taraf utopia. Praktek ketatanegaraan
menunjukkan bahwa larangan monopoli yang ada dalam UUD 1945 dikebiri, peran
pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan ekonomi dan pelaku usaha
harus benar-benar pandai menyiasatinya (dengan mengambil hati para penguasa
untuk mendapatkan proyek yang ditenderkan oleh pemerintah).
Krisis ekonomi yang berlangsung hingga hari ini
merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang penuh dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme yang dilakukan pelaku bisnis, birokrasi serta elit penguasa. Akibat
dari krisis ini masih kita rasakan hingga kini khususnya bagi rakyat banyak
terhadap perilaku atau fenomena yang merugikan dan merusak kehidupan berbangsa
dan bernegara. Perilaku demikian dinamakan kejahatan dan lebih spesifik lagi
adalah kejahatan korporasi (I.S.Susanto 1999: 2).
Tulisan ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang
sejelas-jelasnya mengenai kejahatan korporasi dikaitkan dengan praktek monopoli
yang berlangsung di Indonesia serta implikasi undang-undang anti monopoli di
masa mendatang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kritis karena
pendekatan ini dapat menggambarkan proses-proses yang dilakukan manusia dalam
membangun masyarakat dan dunianya (I.S. Susanto 1992: 3).
B. Model
Tindakan Pemerintah yang Mendorong Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha
Tidak Sehat
Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh dengan baik dalam
lingkungan yang kompetitif. Kondisi yang kompetitif ini menjadi syarat mutlak
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang efisien, termasuk proses
industrialisasi yang efisien. Dalam pasar yang kompetitif,
perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen
dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan
mutu produk dan memperbaki pelayanan kepada konsumen. Agar berhasil dalam
kondisi pasar yang demikian, perusahaanperusahaan harus berupaya mengembangkan
proses produksi baru yang lebih efisien dan inovatif, meningkatkan kemampuan
teknologi baik teknologi proses produksi maupun teknologi produk. Pada
gilirannya hal ini akan mendorong kemajuan teknologi dan dengan sendirinya juga
pertumbuhan ekonomi yang pesat (Thee Kian Wie 1999: 60-61)
Dunia usaha Indonesia tidak dibangun dalam kondisi
yang demikian. Setidak-tidaknya ada dua rintangan yang menghadang langkah
pelaku usaha ke arah pasar yang kompetitif, yaitu rintangan alamiah (natural
barriers) dan rintangan yang diciptakan oleh kebijaksanaan pemerintah (policy-generated
barriers to competition). Rintangan alamiah yang terpenting adalah
skala ekonomi dan pasar keuangan dan modal yang kurang sempurna. Pasar
finansial yang kurang sempurna disebabkan oleh persepsi para investor bahwa
suatu perusahaan baru yang ingin memasuki suatu pasar tertentu menghadapi
resiko bisnis yang lebih besar ketimbang perusahaan mapan yang sudah bergerak
di pasar tersebut, sehingga perusahaan baru akan menghadapi biaya investasi
yang lebih tinggi.
Rintangan utama berkaitan dengan persaingan domestik
(dalam suatu negara) bukan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi, akan tetapi
rintangan artifisial yang dibuat oleh kebijakan pemerintah. Rintangan
artifisial ini dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan proteksi yang tinggi
bagi perusahaan-perusahaan mapan. Hal ini mengakibatkan biaya ekonomi yang
tinggi bagi masyarakat berupa rente ekonomi, yaitu laba monopolis yang
diperoleh perusahaan yang mapan berkat proteksi yang tinggi dan mereka nikmati
terhadap ancaman persaingan dari pesaing-pesaing potensial, baik
perusahaan-perusahaan baru maupun barang-barang impor yang tidak bisa memasuki
pasar tersebut karena rintangan yang didirikan pemerintah (Thee Kian Wie 1999:
61-62)
Rintangan artifisial yang dibuat pemerintah orde
bari diantaranya adalah didirikannya kartel-kartel, pemberian lisensi secara
ekslusif, peraturan-peraturan ad hoc, rintangan perdagangan antar
daerah dan pengaturan pemasaran hasil pertanian (Thee Kian Wie 1999: 63-64). Di
Indonesia beberapa kartel dibuat oleh asosiasi industri dengan ijin implisit
dari pemerintah, seperti kartek di industri semen, industry kayu lapis dan
industri pulp dan kertas. Pemberian lisensi ekslusif ini tampak nyata dalam
pemberian lisensi kepada Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) tahun
1991 yang memonopoli pembelian dan penjualan cengkeh yang mengakibatkan anjolknya
harga cengkeh sampai tingkat terendah.
Pemerintah orde baru sering melakukan campur tangan
ad hoc berupa perlakuan preferensial untuk kelompok-kelompok bisnis tertentu (politically
wellconnected groups) berupa partisispasi modal ekuiti (saham) dalam
perusahaanperusahaan besar milik golongan pengusaha yang mempunyai hubungan
tertentu dengan penguasa. Kebijakan yang menghalangi perdagangan antara daerah mengurangi
efisiensi nasional karena pasar menjadi terpecah-pecah. Pemerintah juga mengeluarkan
peraturan yang non kompetitif sehingga merugikan petani karena menurunkan harga
jual hasil pertanian.
Kemajuan teknologi, perlindungan yang berlebihan,
penciptaan larangan masuk (entry barrier), keringanan pajak dan subsidi
serta merger di antara usaha-usah sejenis menyebabkan konsentrasi industri yang
melahirkan praktek monopoli (Nurimansyah Hasibuan, 1995). Kebijakan yang diambi
pemerintah itu betul-betul menjadikan praktek larangan monopoli dan persaingan
usaha menjadi tidak berarti. Dalil yang dikemukakan bahwa monopoli (ingat pasal
33 UUD 1945) dilakukan untuk kepentingan rakyat adalah bohong besar karena
ternyata yang diuntungkan adalah penguasa dan kroni-kroninya.
YUNITA HILDA N (27211679)/2EB09
FAKULTAS EKONOMI
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar